Sabtu 20 Sep 2014 17:48 WIB

Rabiah Al-Adawiyah, Ibunda Para Sufi (1)

Dengan sikap dan kesalehannya, Rabiah mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.
Foto: Sojo.net/ca
Dengan sikap dan kesalehannya, Rabiah mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.

Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti  

Rabiah al-Adawiyah dikenal dengan nama Rabi’ah Basri. Nama Lengkapnya adalah Rabiah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah. Dia dikenal sebagai wanita sufi yang menjaga kesucian dan kecintaannya pada Allah SWT. Rabiah merupakan klan al-Atik suku Qays bin Adi.

Rabiah lahir di Basrah, Irak, pada tahun 95 H atau 713 M. Wanita sufi ini lahir di masa pemerintahan Bani Umayyah. Dia menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat pada Allah SWT.

Dia pun diberi gelar Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Dia juga menjadi panutan ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dzun Nun al-Misri. Kezuhudannya terkenal hingga ke Eropa. Sehingga, banyak cendekiawan Eropa yang meneliti tentangnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholosan.

Masa kecil Rabiah tidaklah mudah. Dia dilahirkan di tengah keluarga yang sangat miskin. Anak bungsu dari empat bersaudara ini lahir di tengah keadaan ekonomi yang sangat buruk. Sampai-sampai ketika Rabiah lahir orang tuanya tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani proses kelahirannya.

Fariduddin Attar, seorang penyair sufi dari Persia, melukiskan kehidupan awal Rabiah dipenuhi kesengsaraan. Ia dilahirkan di rumah yang tidak ada sesuatu pun dapat dimakan dan dijual.

Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan pun sudah habis. Nama Rabiah dipilih karena dia anak keempat. Kesulitan hidupnya tak hanya masalah ekonomi. Beberapa tahun setelah Rabiah lahir, ayahnya wafat kemudian disusul ibunya. Dia dan ketiga saudara perempuannya pun menjadi yatim piatu.

Ayahnya hanya meninggalkan harta sebuah perahu. Rabiah menggunakannya untuk mencari nafkah. Sejak menjadi yatim piatu, dia bekerja sebagai penarik perahu yang menyeberangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sedangkan ketiga saudaranya bekerja di rumah menjadi pemintal benang atau penenun.

Namun, pekerjaan mereka hanya bertahan sebentar. Basrah ketika itu dilanda bencana alam dan kekeringan karena kemarau berkepanjangan. Rabiah dan ketiga saudaranya pun hidup nomaden untuk bertahan hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement