Rabu 17 Sep 2014 06:31 WIB
Dakwah di Pedalaman Kalimantan

Cahaya Islam di Tanjung Soke (3-habis)

Sudut Kampung Tanjung Soke, Kecamatan Bongan, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Foto: Republika/Chairul Akhmad
Sudut Kampung Tanjung Soke, Kecamatan Bongan, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Selain terbelit persoalan ekonomi dan pendidikan, warga Tanjung Soke juga terbentur akses kesehatan.

Tak ada Puskesmas atau klinik di sini. Tak ayal, warga hanya mengandalkan jasa belian untuk pengobatan. Apatah lagi jika bicara soal dakwah Islam.

“Di sinilah tantangan dakwah sebenarnya,” kata Arief melihat kondisi Tanjung Soke. “Kita mesti berjuang keras di medan dakwah seperti ini. Apalagi sebagian warga masih mempraktikkan tradisi animisme walau mengaku sudah Islam.”

Sengkunir, Ketua Adat Dayak Luangan Tanjung Soke, tak menampik jika warganya masih mempraktikkan ritual animisme. Misalnya kwangkai, sebuah tradisi pengorbanan binatang untuk arwah leluhur. 

“Saya tak bisa melarang mereka. Dulu ketika memeluk Katolik, warga tetap mempraktikkan ritual ini. Setelah menjadi Muslim, mereka juga masih melakukannya.”

Menurut Sengkunir, tak perlu mempertentangkan antara adat/tradisi dengan kewajiban agama. Selama keduanya bisa berjalan seiring, maka biarkan saja mengalir.

“Bagi kami, ritual adat itu sudah mendarah daging. Susah untuk dihilangkan. Yang perlu dijaga adalah bagaimana kedua ajaran ini tidak saling menggerus satu sama lain,” ujarnya.

“Jika ritual adat ini ditinggalkan, akan timbul petaka pada warga yang bersangkutan,” kata dia. “Contohnya, ada warga kami yang tiba-tiba meninggal karena tidak melakukan kwangkai. Padahal, ia seharusnya melakukan itu ketika diminta.”

Di sisi lain, kata Sengkunir, warga yang melakukan kwangkai di saat sakit, justru mendapat kesembuhan hanya dengan berobat ke dukun. Hal-hal seperti inilah yang membuat warga tetap melestarikan tradisi nenek moyang mereka walau telah berpredikat Muslim.

KH Arief mafhum dan dapat memaklumi kondisi yang ada. Ia tak ingin dakwah Islam disemai dengan cara frontal dan paksaan.

“Kondisi dan medan dakwah di sini (pedalaman) berbeda dengan di Pulau Jawa. Kita tidak bisa ujuk-ujuk mengharamkan dan membid’ahkan tradisi masyarakat. Butuh waktu dan kesabaran untuk menyadarkan mereka,” ujarnya.

H Asrani, Ketua Takmir Masjid Arrahman (satu-satunya masjid di Tanjung Soke), sepakat dengan Arief. Dakwah, menurutnya, mesti dilakukan dengan ihsan dan bijak. Bukan dengan kekerasan atau pemaksaan.

“Kita tidak bisa menjejali warga dengan dogma-dogma agama yang kaku. Sebab, iman mereka belum kokoh benar. Di sinilah kearifan dakwah perlu dikedepankan,” kata pria asli Banjar itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement