Ahad 03 Aug 2014 12:59 WIB

Ibadah, Doa, Pengorbanan

Keinginan apa pun di dunia ini mestinya menjadi juga perjalanan ibadah dan doa.
Foto: Republika/Tahta Aidilla/ca
Keinginan apa pun di dunia ini mestinya menjadi juga perjalanan ibadah dan doa.

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

Nabi Ibrahim termasuk yang kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan perjalanan memiliki anak keturunannya dikisahkan dalam Alquran.

Keberkahan, shalawat, serta salam tercurah untuk Nabi Ibrahim, keluarga, dan anak keturunannya, sebagaimana selalu kita sebut di dalam tahiyat akhir dalam shalat. Semoga kita bisa bertemu juga dengan Nabi Ibrahim, para nabi, dan tentu saja dengan Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan Rasul.

Secuplik kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang membenarkan wahyu Allah, Tuhannya, lewat mimpi, dan dukungan dari istrinya, Siti Hajar, dan juga tokoh sentral, Nabi Ismail, yang disebut Allah sebagai “ghulam haliim”, anak yang sangat sabar (QS 37: 101), sarat hikmah buat kita semua.

Perjalanan Nabi Ibrahim memiliki anak keturunan bolehlah ditadaburi sebagai perjalanan kita-kita, menuju hajat kita, keinginan kita, doa kita. Banyak di antara kita yang menginginkan sesuatu atau banyak hal di dunia ini, tapi tidak melangkah ke Allah. Sehingga, urusan dunia menjadi bernilai dunia saja.

Tidak lebih. Banyak yang sia-sia, bahkan tidak sedikit malah yang menjadi dosa sebab menjadi keluhan, bukan doa, dan menjadi perbuatan dosa, maksiat, dan melanggar perintah Allah. Nabi Ibrahim membawa keinginannya ingin memiliki anak keturunan menjadi perjalanan ibadah dan doa.

“Nabi Ibrahim berkata aku akan pergi menghadap Tuhanku, niscaya Dia akan memberikanku petunjuk. Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku seorang anak yang termasuk golongan orang-orang yang saleh.” (QS 37: 99-100).

Maka, begitulah seharusnya kita semua. Keinginan apa pun di dunia ini mestinya menjadi juga perjalanan ibadah dan doa. Bukan sekadar keinginan dan pencarian belaka yang akhirnya banyak membuat lupa dan lalai.

Banyak orang yang menghendaki kekayaan, rumah, uang, jabatan, kemudahan hidup, yang direpresentatifkan lewat kisah perjalanan Nabi Ibrahim mendapatkan anak keturunan, bukan dengan berjalan menuju Allah seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim. Melainkan, malah menuju setan, bahkan berkawan dan meminta bantuan setan. Baik dengan pengertian hakiki maupun sifat, sikap maupun perbuatannya.

Salah jalan, begitu kita bilang. Banyak di antara kawan kita yang seharusnya keinginan, hajat, menjadi ibadah dan doa, penuh dengan kesenangan yang panjang lagi abadi, akhirnya berbuah kenestapaan, hilangnya kehormatan, kemuliaan, harga diri, rasa malu, dan penderitaan.

Pengen kerja, bukannya ke Allah, malah nyogok. Kerjaan bisa jadi ia dapatkan. Tapi, seumur hidup ia makan rezeki haram. Pengen dapat proyek, kudu setor dulu sekian puluh persen di muka. Akhirnya, proyek didapat, tapi malah berutang sana-sini. Pengen untung, tapi merugikan orang. Akhirnya, malah buntung.

Pengen rumah, mobil, dan semua yang di dunia yang sejatinya lebih banyak yang dihalalkannya daripada yang diharamkan, malah kemudian terlempar dari apa yang dipegangnya. Dunianya menjadi bara api baginya. Sebab, bukan diraih bersama Allah, dengan cara-cara Allah, tapi justru dengan melupakan dan menjauhi-Nya.

Tidak sedikit di antara kita yang menjadi munafik. Kelihatan saleh dan salehah, bermuka bersih, penuh tata krama dan kemuliaan, hingga kemudian Allah menampakkan wujud aslinya.

Banyak betul yang bisa kita petik hikmahnya dari kisah Ibrahim AS. Termasuk, meneladaninya ketika ingin memiliki anak keturunan yang berjalan menuju Allah, beribadah, dan membawanya menjadi doa. Hingga kemudian, saat beliau akhirnya sudah mendapatkan Nabi Ismail dan menikmatinya, malahan Allah minta. Ketaatan, keikhlasan, keridhaan, kesabaran keluarga ini, sungguh diperlukan untuk membangun Indonesia, mental, akhlak, dan perilaku semua rakyatnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement