REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Menurut Imam al-Mawardi, ada dua fungsi utama kepemimpinan yang menunjukkan pentingnya kepemimpinan itu, yaitu menjaga agama (khirasat al-din) dan mengelola urusan dunia (siyasat al-din).
Maka memilih pemimpin atau membangun kepemimpinan (nashb al-imamah), bagi pakar hukum tatanegara Islam ini, wajib hukumnya, baik secara syar`i maupun `aqli.
Dalam bahasa Arab, memilih itu disebut al-Ikhtiyar, berasal dari kata khair, yang secara harfiah berarti baik [terbaik].
Jadi, memilih itu adalah kegiatan mencari dan menetapkan sesuatu yang terbaik (making the best choice). Untuk itu, pemilih mesti memiliki dan memenuhi persyaratan-persyaratan.
Persyaratan yang mula-mula bagi pemilih, menurut al-Mawardi, adalah adil dalam pengertian yang sebenarnya (al-jami`ah li syuruthiha).
Adil di sini berarti pemilih memiliki moral dan keluhuran budi pakerti, sehingga ia tidak memihak kepada calon tertentu, tetapi memberikan penilain secara jujur dan objektif kepada semua calon.
Adil juga berarti menjatuhkan pilihan [setelah melakukan penilain] kepada calon yang dianggap terbaik, tanpa bisa dipengaruhi oleh money politic alias tak bisa dibeli dan disuap.
Menjatuhkan pilihan karena uang (suap) adalah tindakan tercela bahkan terkutuk. Rasulullah SAW mengutuk penyuap dan yang disuap (la`natulllah `ala al-Rasyi wa al-Murtasyi). (HR. Abu Dauda, Thirmidzi, dan Nasa’i).
Pesyaratan berikutnya ialah pemilih mesti mengetahui dengan pasti siapa yang akan dipilih. Jangan sampai ia memilih kucing dalam karung.
Pengetahuan ini, menurut al-Mawardi, harus mengantar pemilih menjatuhkan pilihan kepada orang yang tepat atau orang yang ashlah, yaitu orang yang akan membawa kebaikan lebih besar bagi kemajuan bangsa.
Ada beberapa hal yang mesti diketahui pemilih. Pertama, visi, misi dan program sang calon. Kedua, komitmen dan kesungguhannya.
Ketiga, kapabilitasnya dalam ikhtiar mewujudkan visi dan misi. Ini terkait dengan keterampilan manajemen dan kepemimpinan sang calon. Keempat, track record (rekam jejak)-nya.
Pada era sekarang, pemimpin bukan dewa atau ratu piningit yang turun dari kayangan. Ia sejatinya manusia biasa, anggota dari masyarakat, dengan sedikit kelebihan baik secara moral, intelektual, maupun spiritual. Karena itu, rekam jejaknya mesti jelas.
Persyaratan yang berikutnya lagi ialah pemilih mesti cerdas (waras) dan arif. Dengan cerdas, pemilih benar-benar menggunakan hak pilihnya secara benar dan penuh rasa tanggung jawab untuk kemaslahatan bangsa.
Ia tidak menjadi golongan putih (golput), dan tidak pula menjadi petualang atau pengacau yang memancing di air keruh hanya untuk memenuhi syahwat politiknya sendiri.
Dengan arif, ia ikut serta menciptakan suasana yang kondusif agar pemilihan pimpinan berjalan damai dan sukses.
Terakhir, pemilih seyogiyanya berdoa kepada Allah SWT, memohon bimbingan dan petunjuk-Nya, agar pilihannya tepat.
Firman Allah: Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26). Wallahu a`lam!