REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Pembinaan mualaf dinilai masih sangat minim.
Ia shalat di atas tempat tidur sambil membaca buku bacaan shalat. Ramadhan ia gunakan untuk ikut berpuasa dan berbuka puasa bersama teman-temannya.
Diakuinya, pembinaan mualaf masih kurang sehingga selepas bersyahadat, mereka yang baru masuk Islam tidak tahu bagaimana harus belajar shalat, membaca Alquran, dan lain-lain. Selama di Surabaya, ia hanya belajar Islam dari buku-buku.
Setelah skripsi pada 2005, ia tak lagi tahan dengan tekanan sanak keluarga di Surabaya. Ia tak punya saudara maupun guru agama untuk bertanya dan belajar di sana. ''Susah, tidak bisa apa-apa jadinya,'' ungkap Annisa.
Tiga tahun menjadi Muslimah, pada tahun yang sama ia akhirnya memilih kabur dari Surabaya ke Jakarta. Ia menyelamatkan keislamannya akibat tekanan tiada henti dari sanak keluarga yang tak rela ia berislam.
Dengan bantuan temannya sesama etnis Tionghoa, ia membulatkan tekad kabur ke Jakarta meski harus berpisah dengan ayahnya. Saat awal pindah ke Jakarta dan kos di Depok, Annisa tidak tahu jika wanita Muslimah wajib berjilbab.
Ia sempat berpikir pasti menyenangkan bisa berjilbab. Ia lalu mencoba menggunakan kerudung dan menemukan kenyamanan serta rasa aman. Ia pun prihatin dan kasihan melihat mualaf banyak yang belum bisa mengaji dan tidak berkerudung. “Harus dibimbing memang,'' kata dia.
Di Jakarta, ia baru bisa belajar Islam secara intensif. Sekitar 2007, ia dikenalkan oleh temannya untuk belajar Islam dengan Herry H Hidayat yang menjadi suaminya sekarang. Ia pernah berhenti bekerja karena atasannya malah memintanya kembali meninggalkan Islam.
Sampai sekarang, Annisa masih terus belajar Islam. Sudah lancar membaca Alquran, suaminya meminta Annisa untuk mengajarkan Alquran juga kepada mualaf lainnya.