REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Pembinaan mualaf dinilai masih sangat minim.
Lahir dari keluarga Tionghoa, Annisa Muslimah merasa semua yang dijalankannya sebagai penganut Buddha tak lebih dari doktrin dan tradisi.
Sebagai anak tunggal, ia merasa kehilangan bimbingan sejak sang ibu wafat, umurnya ketika itu tujuh tahun. Setelah ayahnya menikah lagi ketika ia SMA, Annisa juga menghadapi hubungan yang buruk dengan ibu tirinya.
Ketertarikan Annisa terhadap Islam berawal dari pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya kala itu. Ia sering memperhatikan perempuan itu shalat.
Larangan keluarga besar agar mendekati pembantunya itu, ia campakkan. ''Saya diam-diam ke kamarnya. Ya bagaimana, tidak ada ibu, tidak ada yang membimbing,'' ungkap Annisa.
Mendiang ayah Annisa sebenarnya juga tertarik dengan Islam. Namun, keluarga besarnya melarang. Sang ayah kadang menyumbang masjid sebelah rumahnya saat Jumat dan memakai peci.
Sajadah pertama yang dimiliki Annisa setelah menjadi Muslimah, juga diberikan sang ayah. Sang ayah sudah merelakan Annisa memeluk Islam.
Sejak mereka masih bersama pun, ayahnya justru menyuruh Annisa menikah dengan pria Muslim. Meski tradisi dalam keluarganya, etnis Tionghoa harus menikah dengan sesama etnis.
Pernah juga Annisa diajak ke gereja oleh kakak sepupunya, tapi ia tidak mengerti apa yang disampaikan di sana. Diakuinya, membaca Alkitab tidak menumbuhkan perasaan apa pun di hatinya. Perayaan Natal juga malah ia manfaatkan sebagai ajang bermain.
Meski mayoritas teman-teman perempuan 30 tahun ini selama bersekolah di sebuah SMA Surabaya pada 1999-2002 beragama Kristen, ia sendiri lebih merasa nyaman dan dekat dengan teman-temannya yang Muslim.