Ahad 08 Jun 2014 10:19 WIB

Hukum Jual Beli Online

Belanja online di sebuah situs.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Belanja online di sebuah situs.

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya tentang hukum boleh atau tidaknya melakukan jual beli via internet, karena saya sering melakukan itu.

Saya sering membeli barang di internet, lalu saya melakukan konfirmasi pembelian, kemudian saya mengirimkan uang melalui transfer bank, lalu saya mengkonfirmasi pembayaran saya dan pihak penjual mengrimkan konfirmasinya melalui e-mail.

Apakah jual beli online seperti itu dibolehkan/tidak? Apa landasan hukumnya? Apa ada hadis yang mengkiaskan tentang jual beli online? Terima kasih. Wassalamualaikum. (Ica Hanisah)

Jawaban:

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa.

Pada mulanya sistem penukaran barang  hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun, dengan kemudahan  fasilitas dan  semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet.

Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar pada 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum:

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri, “Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli, “(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’—sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat—jual beli barang ghaib, yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari.”

“Meskipun barang tersebut ada dalam majelis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas (mutawatir), seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.”

Dalam pandangan mazhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual-belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli.

Sebab, Rasulullah melarang praktik yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan, “Rasulullah SAW melarang jual beli yang di dalamnya terdapat penipuan.” (HR Muslim).

Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli.

Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin. Wallahu a’lam.

Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement