Sabtu 07 Jun 2014 04:26 WIB

Awalnya Ragu Keberadaan Tuhan, Pria Ini Temukan Pencerahan Dalam Islam

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Bilal Ramadhan
Mualaf (ilustrasi)
Foto: Onislam.net
Mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim Long tak pernah berpikir akan memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Sebelum menikah, Ibunya telah berjanji untuk membesarkan anak-anaknya menjadi Katolik yang taat. Tak sehari pun terlewatkan tanpa ia mendengar ibunya menyanyikan doa-doa.

Ibu Ibrahim sangat vokal jika mereka membicarakan agama. Sementara ayahnya, lebih pendiam soal agama dan lebih menunjukkan komitmen daam soal perilaku. Ibrahim tak banyak memikirkan soal keyakinannya hingga ia lulus dari Folsom High School.

Saat itu, keluarganya diuji dengan sakitnya Ibu Ibrahim. Ia menderita semacam tumor di perut yang dokter tak bisa memastikan kesembuhannya. Dengan tekad untuk bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, Ibu Ibrahim menjalani kemoterapi yang membuatnya kehilangan berat badan drastis. Rambutnya pun perlahan rontok.

Ibrahim mendapati ibunya bisa tabah menjalani semua kesulitan karena keyakinan terhadap tuhan melalui agamanya Katolik. Sayang, optimisme itu ikut hilang bersama wafatnya sang ibu. ''Saya tak ingat kapan. Tapi setelah ibu tiada, saya mulai mengkritisi Tuhan yang saya sembah selama ini. Apa guna memuja-muja manusia sebagai Tuhan?'', ungkap Ibrahim seperti dimuat onsilam.net.

Terinspirasi ibunya, Ibrahim tahu, ketenangan hati hanya bisa ditemukan dengan mencari Tuhan di jalan yang benar. Ia mulai membuka Alkitab. Diakuinya banyak pelajaran yang ia dapat. Tapi, ia masih tidak menemukan dasar mengapa Nabi Isa disembah sebagai Tuhan.

Ia lalu mencoba mendalami agama lain seperti Hindu dan Buddha. Meditasi Buddha tak juga membuat hatinya menemukan kejernihan sebuah agama. Apa yang didapatnya dalam pencarian Tuhan ini tak lebih dari rekaan manusia. Tapi Ibrahim tetap menaruh keyakinan, jika Tuhan ingin Ibrahim mengenalNya, Tuhan pasti menunjukkan jalan yang tidak dicampuri tangan manusia.

Ibrahim sempat tinggal di Santa Monica bersama temannya. Saat pulang ke rumah orangtuanya di Sacramento pada usia 23 tahun, hatinya makin terasa kering. Ia memutuskan berhenti mencari Tuhan dan kegiatan keagamaan.

Tak pernah mengenal Islam selain agama yang tidak toleran, Ibrahim justru dibuat penasaran dengan Islam setelah membaca konflik Israel-Palestina di sebuah majalah. Ia mendebat segala penjelasan temannya soal Islam, sampai temannya mengatakan Ibrahim tak adil karena menghakimi sepihak.

''Saya akui dia benar. Apa yang saya katakan semua hanya dari apa yang saya baca,'' ungkap Ibrahim.

Ibrahim lalu mulai bertanya tentang Islam kepada temannya yang juga sudah menjadi mualaf, Danyelle. Danyelle memberikan Ibrahim sebuah Alquran. Suami Danyelle, Jabari, juga menyarankan Ibrahim untuk berkunjung ke rumah mereka untuk diskusi lebih lanjut tentang Islam.

Ibrahim mengunjungi kediaman suami istri itu setiap Jumat malam selama sekitar satu setengah bulan untuk berdiskusi tentang Islam. Selain menyediakan makan malam, Danyelle dan Jabari sabar menjawab segala pertanyaan Ibrahim tanpa memaksanya untuk percaya.

''Beberapa penjelasan mereka sudah saya baca dalam Alquran. Tapi bicara langsung dengan mereka membuat hati saya terbuka. Saya jadi lebih paham,'' tutur Ibrahim. Ia mendapati Islam justru memiliki konsep adil dan seimbang, pemahaman atas karater manusia, dan penjelasan yang masuk akal.

Sehari sebelum ulangtahunnya, Ibrahim bersyahadat. Ia sangat bersyukur apa yang ia tekadkan telah ia temukan. Di usia ke 23, Allah SWT menunjukinya agama yang tidak pernah ia pikirkan akan menjadi pemeluknya. ''Itu merupakan kado luar biasa,'' kata Ibrahim.

Setiap kali membaca Alquran atau mempelajari hal baru dari setiap bagiannya, Ibrahim semakin yakin dengan keimanannya. Itulah yang ia cari selama ini. Keyakinan itulah yang diungkapkan Ibrahim sebagai jalan yang telah menjadikannya manusia seperti sekarang ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement