REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Draf Revisi Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 47 tahun 2004 mengenai tarif nikah masih mengendap di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Muhammad Jasin mengatakan kemungkinan masih dua minggu lagi di sana.
Setelah Menteri Agama Ad Interim Agung Laksono membubuhkan paraf, draf tersebut diserahkan ke Kemenkeu pada Senin (2/6) lalu.
’’Informasi terakhir dari Kabag Tata Usaha mereka, pembubuhan paraf masih dua minggu lagi,’’ kata Jasin, Rabu (4/6).
Ia menyayangkan proses yang cukup lama tersebut. Dalam saat bersamaan, mengalir laporan gratifikasi penghulu ke Irjen. Meski demikian, ia berusaha menghormati jalur birokrasi yang berlaku di masing-masing kementerian.
Sampai saat ini, tinggal tiga menteri yang dibutuhkan parafnya sebelum draf RPP ditandatangani Presiden. Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemenag, Zubaidi menuturkan, tiga menteri tersebut ialah Menkeu, Menko Perekonomian dan Mendagri.
"Kami mendorong ketiga menteri tersebi bisa segera membubuhkan parafnya agar penerapan tarif nikah baru ini bisa berlaku Juni 2014,’’ kata Zubaidi.
Penyuluh Agama Islam di KUA Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Anwar Munawar mengaku belum mengetahui kapan pemberlakuan RPP itu. Ia sudah mendengar revisi itu, hanya saja yang ia tahu, pemberlakuannya pada 2015.
Sampai saat ini di wilayahnya, biaya pencatatan nikah masih menggunakan peraturan yang lama. Pasangan calon pengantin membayar Rp 30 ribu untuk dicatatkan di KUA. Jika pernikahan di luar jam kerja dan KUA ada biaya yang dinegosiasikan dengan masyarakat.
Anwar tidak menutupi adanya oknum-oknum di KUA yang kerap mencatat pernikahan sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, jika ada yang ingin mencatatkan pernikahan di wilayah A, dicatat di KUA wilayah B agar kantor KUA wilayah B itu mendapatkan honor lebih besar.
Ia menilai, tarif nikah baru di luar jam kerja dan KUA Rp 600 ribu mungkin saja nantinya memberatkan masyarakat. Khususnya mereka yang tinggal di pedesaan. Apalagi, ujar dia, penghulu di daerahnya tak mematok tarif karena menerima bayaran seikhlasnya.
Biasanya disesuaikan dengan kemampuan pasangan calon pengantin.’’Kultur masyarakat desa itu masih kekeluargaan, jadi jika nantinya dipatok harga 600 ribu, mungkin masyarakat akan menilai kemahalan," tuturnya.
Dari sisi KUA, tarif itu menguntungkan. Sebab, penghulu memperoleh bayaran dan melakukan pekerjaan yang jelas. Mereka juga terhindar dari potensi gratifikasi.