REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fernan Rahadi
Tiga tahun bisa membaca kitab kuning.
Hal ini membuat para pengasuh ponpes seperti dirinya sering kewalahan jika ada santri yang bertindak indisipliner. “Jika dulu diberikan tausiyah saja sudah menurut, sekarang ini sulit,” ujarnya.
Tantangan yang dihadapi ponpes saat ini, yaitu bagaimana membuat para santri merasa lapar akan ilmu yang diperoleh dari pesantren, termasuk di antaranya mempelajari kitab kuning.
Salah satu cara yang dilakukan di At-Tarbiyah, yakni memberi motivasi hanya dengan tiga tahun belajar di ponpes maka santri sudah memiliki bekal untuk hidup, salah satunya menguasai kitab kuning.
“Jika di sekolah-sekolah umum mereka butuh 12 tahun bisa membaca kitab kuning, di pesantren mereka hanya perlu tiga tahun saja. Setelah itu, mereka bisa melanjutkan sekolah atau bisa langsung mengabdi sebagai pengajar kitab kuning,'' ujar kiai Afief.
Selain itu, ungkapnya, biasanya lulusan pesantren memiliki mental tidak merasa canggung ketika terjun ke masyarakat. Ada pekerjaan apa pun biasanya mereka langsung bisa mengerjakan.
Ia menceritakan, pesantren yang terletak di kaki Gunung Tampomas, Sumedang, itu dirintis pada 1984 hanya dengan sembilan santri saja. Saat itu, pengajaran untuk santri putra dan putri digabung, mengingat lahan hanya seluas 14x15 meter saja.
Saat itu, dana yang dimiliki At-Tarbiyah masih sangat terbatas. “Alhamdulillah, lima tahun kemudian, saat pesantren resmi dibuka, lahan sudah seluas satu hektare lebih dengan pondok santri putra dan putri terpisah,” ujarnya.
Saat ini, jumlah santri yang belajar di Pesantren At-Tarbiyah sebanyak 200 orang. Sedangkan, jumlah alumni sudah 22 angkatan yang tersebar di berbagai daerah.
Rata-rata para santri berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat, seperti Garut, Subang, Sumedang, dan Bandung. Mereka rata-rata bersekolah di SMP/MTS dan MAN/SMA yang berada di sekitar pesantren.
Mereka belajar di pesantren tersebut selama tiga tahun, kecuali yang memulainya dari tingkat SD selama enam tahun. Angkatan di pesantren pun tidak digolongkan sesuai dengan kelas mereka di sekolah umum, tetapi disesuaikan dengan angkatan masuk pesantren.
“Jadi, bisa saja anak-anak yang sekolah tsanawiyah (setingkat SMP) mengalahkan anak-anak aliyah (setingkat SMA)dalam bidang kitab kuning ,” katanya.