Jumat 16 May 2014 05:00 WIB

Belajar Agama Islam di Sekolah Menuntun Siswi Ini Jadi Mualaf (1)

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Bilal Ramadhan
mualaf (ilustrasi)
Foto: onislam.net
mualaf (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Meski terlahir dari orangtua Muslim, Aisyah Kamiliya (31 tahun), dibesarkan dalam lingkungan Katolik. Liya, begitu ia kerap disapa, adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Perpisahan ibu dan ayahnya membuat Liya diasuh kakek dan nenek yang menganut Katolik.

Secara akademik, Liya mengaku sedang-sedang saja. Karena sering mengkobinasikan catatan dengan gambar semasa sekolah, dari sanalah teman-teman mulai mengenalnya. Ia tak pernah mempertanyakan agamanya sampai saat ia duduk di bangku SMA.

Lulus dari SD dan SMP Katolik, Liya melanjutkan ke sebuah SMA negeri di Jakarta. Pada pelajaran agama Islam (PAI) saat ia kelas I SMA, siswa non Muslim boleh memisahkan diri ke perpustakaan sekolah. Tapi Liya  memilih tetap berada di kelas.

''Saya penasaran, belajar apa sih PAI,'' ungkap Liya.

Ia menceritakan  saat itu guru agama kelasnya, Mustafa, mengatakan ada agama samawi dan agama ardhi. Ia bertanya-tanya saat Pak Mustafa mengatakan kitab umat Nasrani adalah injil. Padahal, yang ia tahu dan pelajari kitab umat  Nasrani adalah alkitab dan injil adalah bagian dari alkitab.

Liya coba bertanya, tapi Pak Mustafa mempersilakannya untuk berdiskusi di luar jam pelajaran. Di luar kelas, Liya menyampaikan apa yang ia rasa perlu 'diluruskan'.

''Pak Mustafa tidak mendebat. Beliau justru mengatakan 'Bapak jadi belajar  juga'. Setelah itu saya belajar banyak juga dari Pak Mustafa,'' kata ibu dari tiga anak ini.

Wali kelasnya saat kelas II yang juga guru PAI, Bu Tini, juga tidak marah saat Liya membantah apa yang  dinilainya berbeda. Kedua guru itu memberi penjelasan atas yang Liya  pertanyakan. ''Semakin orang paham Islam, justru semakin sabar dan tidak pelit ilmu. Bu Tini dan Pak Mustafa saling back up,'' kata dia.

Liya juga bertanya kepada guru agama Katolik yang mengajarnya di sekolah. Ia bertanya tentang apa yang selama ini dilalui dan dipelajari, termasuk soal alkitab bukan injil dan nabi Isa. Ia diberi jawaban, apa yang  sudah digariskan Tuhan, tidak perlu dipertanyakan lagi. Jika percaya, maka  percaya, itulah iman.

''Mereka bilang kalau saya bertanya-tanya, berarti tidak beriman. Di situ  hati saya mulai bergolak. Beda nih imannya dengan orang Islam. Orang  Islam mewajarkan bertanya agar belajar lagi. Sebab bertanya pun belum tentu tidak percaya,'' tutur Liya. Ia merasa tak tenang setelah itu.

Kelas III SMA pada 2000, Liya pulang ke kampung halaman ibunya di  Pulau Sikep, Kepulauan Riau saat Ramadhan. Ia coba ikut berpuasa. Liya mengaku nyaman dan  tenang di tengah suasana Ramadhan yang khusyu.

''Saya merasa ada yang berbeda. Saya belajar tenang dan sabar,  padahal semasa SMP, saya mudah marah dan berkelahi,'' kata Liya.

Liya memutuskan bersyahadat Islam di sana. Berislam di kampung halaman orang tua tidak serta merta membuat keislaman Liya diterima. Orangtuanya menilai Liya tidak berterima kasih kepada kakek nenek yang selama ini membersarkannya. Keislaman Liya dikhawatikan akan membuat neneknya kecewa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement