Oleh: Dr Hendri Tanjung*
Bahkan Imam Sarakhsi dan Imam Muhammad Had, membolehkan wakaf aset bergerak, meskipun tidak merupakan kebiasaan di daerah tersebut.
Lebih jauh lagi, Imam Muhammad As Syaibhani dan Abu Yusuf mengatakan, sumbangan harta bergerak, dapat dilekatkan dengan suatu bangunan.
Misalnya, wakaf uang Rp 2 juta, dapat dilekatkan dengan wakaf bangunan satu meter. Dengan demikian, kita melihat banyak sekali penggabungan antara wakaf bangunan dan wakaf uang yang telah dipraktikkan di Ottoman Turki, yang notabene mengikuti Mazhab Hanafi.
Pengadilan Ottoman telah menyetujui praktik wakaf uang ini pada abad ke-15, dan menjadi sangat populer pada abad ke-16 di seluruh Anatolia dan daratan Eropa dari kerajaan Ottoman, Turki.
Pada zaman Ottoman Empire, wakaf uang ini dipraktikkan hampir 300 tahun, dimulai dari tahun 1555-1823 M. Lebih dari 20 persen wakaf uang di Kota Bursa, selatan Istambul, telah bertahan lebih dari seratus tahun. Dalam pengelolaannya, hanya 19 persen wakaf uang yang tidak bertambah, sementara 81 persen mengalami pertambahan (akumulasi) modal.
Dalam penelitiannya, Pofessor Murat Cikazca (2004) menyimpulkan, wakaf uang berhasil mengorganisasikan dan membiayai biaya pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lainnya, yang hari ini ditanggung oleh negara atau pemerintah daerah setempat.
Sehingga, wakaf uang memainkan peranan yang vital pada era Ottoman Empire tanpa biaya dari negara. Ada beberapa bentuk pengelolaan wakaf uang.
Pertama, wakaf uang yang terkumpul dikelola dalam bentuk pembiayaan usaha tertentu, tentunya dengan akad mudarabah (bagi hasil).
Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan masuk kembali ke jumlah wakafnya, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan akumulasi kapital dari wakaf uang ini.
*Alumnus IPB dan Sekretaris Magister Ekonomi Islam UIKA Bogor