Ahad 11 May 2014 02:36 WIB

Ulama Harus Gerakkan Perubahan Sosial

Nahdlatul Ulama
Foto: NU
Nahdlatul Ulama

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yulianingsih

Ulama NU juga diminta mempromosikan teologi inklusif.

YOGYAKARTA -- Ulama Nahdatul Ulama (NU) dituntut ikut melakukan perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik. Ulama juga harus bisa menjadi panutan seluruh umat dengan menjaga moral dan spiritual.

Selain itu, ulama pun harus terlibat dalam pembentukan wacana publik dan menggunakan media dakwah yang sesuai dengan karakteristik masyarakat.

Hal tersebut merupakan satu dari tujuh butir amanat hasil Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan tentang Keagamaan, Keumatan, dan Kebangsaan di Yogyakarta, Selasa (6/5) - Rabu (7/5).

Sebanyak 125 ulama dan cendekiawan NU dari berbagai pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah berkumpul untuk membahas masalah keumatan.

Sarasehan ini merupakan program kegiatan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY yang bekerja sama dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Selain harus terlibat langsung dalam perubahan sosial, ulama, dan cendekiawan NU juga diminta membenahi tata kelola jamaah dan jamiah. Hal itu penting agar potensi jamaah dapat dikembangkan secara optimal untuk kepentingan bangsa dan negara.

Amanat yang dibacakan KH Said Asrori itu juga menyeru ulama untuk memperkuat nilai ajaran NU kepada warga nahdliyin dan mempromosikan teologi inklusif ala NU, yakni moderat, seimbang, dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam amanat tersebut, ulama NU juga menyoroti masalah degradasi moral di Indonesia yang semakin memprihatinkan. Hal tersebut terlihat dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014.

Banyak caleg melakukan transaksi dengan pemilih dalam bentuk uang tunai atau sumbangan. "Uang menjadi ideologi baru. Uang berhasil menggerus otoritas politik, ekonomi, budaya, bahkan agama.''

Hal lain yang menjadi bahasan dan menjadi salah satu butir amanat adalah tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang cukup tinggi, serta pelayanan publik yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

"Yang paling mendesak adalah merevitalisasi pendidikan umat. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga spiritual," kata Kiai Said saat membacakan amanat.

Ketua Pimpinan Wilayah NU (PWNU) DIY Rochmat Wahab mengatakan, sarasehan ini merupakan ajang berbagi informasi kekinian kepada para kiai dan cendekiawan NU.

Informasi terkait masalah keumatan ini disampaikan langsung para pakar di bidangnya. Melalui forum ini, para kiai dan cendekiawan NU diharapkan bisa memberikan solusi dan fatwa solutif untuk mengatasi permasalahan umat.

"Untuk masalah kebangsaan, NU kembali ke khitahnya, yakni tidak berpolitik. Tapi, orang NU tidak membebaskan diri dari politik, dalam hal ini politik kebangsaan, bukan politik kepartaian," katanya.

Sebab, kata dia, apa yang dibahas dalam pertemuan kiai dan cendekiawan Muslim ini tidak untuk kepentingan partai serta perorangan, tapi untuk kepentingan umat secara keseluruhan.

Ia berharap, kegiatan semacam ini sering dilakukan, baik oleh ulama serta cendekiawan. "Dengan demikian, informasi mengenai persoalan bangsa dapat diterima dan dipecahkan bersama demi kemakmuran dan masa depan bangsa," kata Rochmat yang juga rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Sementara, Ketua Penyelenggara A Muzammil mengatakan, forum ini digelar sebagai sumbangsih ulama untuk kepentingan bangsa dan tidak ada dukung-mendukung kepada partai politik serta perorangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement