Oleh: Syahruddin El-Fikri
Seorang pelajar dituntut tak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga beriman dan bertakwa.
Sejak 13 abad silam tepatnya pada 750-1258 Masehi (tahun 133-656 H), perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam tumbuh pesat.
Madrasah Nizhamiyah, lembaga pendidikan Islam yang didirikan Dinasti Abbasiyah di masa Kekhalifahan Harun al-Rasyid kemudian diteruskan oleh putranya, Khalifah al-Ma'mun, Kota Baghdad (Irak) menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ketika itulah masa kejayaan Islam (The Golden Ages of Islam) dalam bidang pendidikan.
Ketika itu, madrasah nizhamiyah sudah menerapkan sistem pembelajaran secara sistematis sehingga memudahkan para penuntut ilmu dalam menerima pelajaran yang diberikan.
Pada masa ini pula, lembaga perpustakaan (Baitul Hikmah) didirikan. Termasuk pusat penelitian (laboratorium). Karena itu, madrasah nizhamiyah menjadi cikal bakal berdirinya lembaga pendidikan Islam modern seperti saat ini.
Tak heran bila lembaga pendidikan ini kemudian diminati dan dikagumi banyak penuntut ilmu dari berbagai negara. Bila sebelumnya, ilmu pengetahuan berkembang di Persia, Yunani, dan India, secara perlahan berpindah ke Kota Baghdad.
Yunani yang terkenal dengan filsafatnya dan banyak melahirkan filsuf terkenal, seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates, kemudian Persia dengan arsitektur dan sastranya serta India dengan ilmu berhitung dan astronomi (perbintangan), akhirnya memilih Baghdad sebagai tempat menuntut ilmu.
Hal ini disebabkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid yang memerintahkan untuk dilakukan penerjemahan karya-karya ilmuwan terkenal itu ke dalam bahasa Arab dan memberikan komentar (penjelasan) atas karya-karya tersebut dengan khazanah Islam.