Jumat 25 Apr 2014 19:55 WIB

Hukum Jual-Beli dengan Cara Kredit (3-habis)

Pekerja merapikan sepeda motor yang siap dikirim ke sejumlah daerah di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pekerja merapikan sepeda motor yang siap dikirim ke sejumlah daerah di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Di antara landasan syar’i yang dijadikan dasar memperbolehkan praktik akad jual beli kredit adalah sebagai berikut:

1. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah, kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahzhah, hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk melakukanya.

Dengan demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan sebuah transaksi muamalah, sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal adanya.

2. Keumuman nash Alquran surah al-Baqarah (2) ayat 275: “... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah (2): 275)

Dalam ayat ini, Allah mempertegas keabsahan jual beli secara umum, kehalalan ini mencakup semua jenis jual beli, termasuk di dalamnya jual beli kredit, sekaligus menolak dan melarang konsep ribawi.

3. Adanya unsur tolong-menolong dalam transaksi jual beli kredit, dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya.

Prinsip tolong-menolong ini sesuai dengan semangat Alquran surah al-Maidah (5) ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

4. Kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dari harga tunai, dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut, bukan sebagai kompensasi waktu semata yang tergolong riba.

Dan sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa sebuah komoditas mempunyai nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya dari masa ke masa. Di antara jumhur ulama fikih yang berpendapat demikian adalah al-Ahnaf, para pengikut Imam asy-Syafi’i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billah.

5. Transaksi muamalah dibangun atas asas mashlahat. Syara’ datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Syara’ juga tidak akan melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Seperti riba, zalim, penimbunan, penipuan dan lainnya.

Jual beli kredit akan menjadi mashlahat bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan keterbatasan dana yang dimiliki.

Dengan demikian, jual beli komoditas dengan cara kredit, yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor, bukanlah transaksi utang piutang atau pun transaksi atas barang ribawi, namun ia adalah jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh syariat. Tentunya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas. Wallahua’lam bish shawab.

sumber : Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement