Selasa 22 Apr 2014 10:53 WIB

Agama dan Negara Pernah Mesra (2)

Aksi melawan hegemoni agama (ilustrasi).
Foto: Learnnc.org
Aksi melawan hegemoni agama (ilustrasi).

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih     

Belajar dari masa kelam ini, timbullah keinginan masyarakat Eropa untuk melepaskan diri dari kekuatan gereja. Mereka khawatir dengan dampak buruk negara agamawi.

Mulai abad ke-11, muncul gerakan protes dan perlawanan sosial yang menentang dominasi dan eksploitasi kaum gereja. Di Prancis, muncul sosok pedagang kaya bernama Peter Waldensons yang mengerahkan pengikutnya untuk menyerang hierarki gereja.

Hal yang sama dilakukan pula oleh kelompok masyarakat di daerah yang lain. Pada 1073 meletuslah peristiwa Pembaruan Hildebrandine yang merupakan pemberontakan melawan kemapanan dan sikap eksploitasi eksklusif kaum gereja.

Proses penentangan pada gereja ini memuncak pada abad ke-15 hingga 16 yang kemudian meruncing pada pengusungan ide sekularisme. Kekuasaan dominasi gereja beserta dogmanya berhasil diruntuhkan, dipinggirkan dalam ranah privat.

Babak selanjutnya, kekuasaan negara dipegang secara autokrasi, dipegang oleh satu pihak pemerintah saja tanpa campur tangan gereja.

Abdullah Ahmed An-Na'im dalam bukunya Islam dan Negara Sekular menuliskan bahwa berbagai negara kemudian mengambil sikapnya sendiri menghadapi runtuhnya kepercayaan publik pada Katolik Roma.

Inggris, misalnya. Pada abad ke-16 Raja Henry VIII memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja dari kekuasaan Paus. “Ia melakukan sekularisasi kultural dengan membuat Gereja Inggris yang terpisah dari kekuasaan Paus,” tulisnya.

Hal ini semakin dikukuhkan pada masa kekuasaan Ratu Elizabeth I yang menetapkan Gereja Protestan sebagai gereja resmi negara di bawah otoritas kerajaan. Gereja bukan lagi sebagai pengatur kebijakan negara.

Swedia juga memutuskan untuk menjadi sekuler. Bahkan, lebih sekuler dari Inggris karena benar-benar memisahkan secara legal antara agama dan negara.

Sejak abad ke-16, Swedia mengubah wajah negaranya menjadi homogen, menjadikan agama evangelis menjadi agama negara. Toleransi pada praktik agama lain pun tak pernah muncul hingga akhir abad ke-18.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement