REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah
JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai mendekati titik temu mengenai Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Ini terungkap setelah pertemuan kedua belah pihak pada Senin (21/4).
Ketua MUI Bidang Ekonomi Umat Anwar Abbas mengungkapkan setidaknya ada beberapa poin yang dapat disepakati.
‘’Sudah kami tawarkan kepada pemerintah,’’ katanya. Ia menjelaskan, untuk kewenangan sertifikasi halal, MUI menawarkan tidak ada perubahan.
Kewenangan itu tetap pada MUI. Sertifikasi halal ini, kata Anwar, meliputi penetapan standar halal, pemeriksaaan produk penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikasi halal. Sedangkan kewenangan Kementerian Agama di antaranya penerbitan nomor registrasi halal.
Hal lainnya adalah pengaturan label halal pada kemasan produk-produk halal. Kementerian Agama juga berwenang mengawasi produk yang beredar serta produsen produk halal. Selain itu, melakukan pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran masyarakat soal halal.
Anwar mengatakan, pemerintah pun berwenang mengawasi atau menyediakan sarana dan prasarana fisik berkaitan dengan jaminan produk halal. Lalu penyelenggaraan kerja sama perdagangan produk halal dengan luar negeri dan penegakan hukum.
Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengungkapkan, sejumlah poin tersebut adalah rangkaian hasil pembahasan bersama kedua belah pihak. ‘’Poin-poin itu merupakan bagian dari tahapan yang telah kami lalu, sedikit lagi selesai,’’ katanya.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal merupakan tanggung jawab hingga akhir jabatannya. Karena itu ia akan menuntaskan pembahasan dengan MUI agar tercapai kesepakatan bersama.
‘’Saya bertemu dengan MUI ingin menyepakati beberapa pasal yang masih mengganjal,’’ kata Suryadharma. Ia berharap segera terwujud kesepahaman dalam menyelesaikan pekerjaan rumah bersama yang saat ini belum juga selesai di parlemen.
Belum disahkannya rancangan itu disebabkan perbedaan pandangan mengenai kewenangan mengeluarkan sertifikasi halal. Kementerian Agama dan MUI masing-masing bersikukuh berhak melakukan sertifikasi halal.
Suryadharma menjelaskan, keinginan pemerintah terlibat dalam proses sertifikasi halal produk bukan untuk mengambil alih wewenang MUI. Keinginan itu muncul lantaran pemerintah ingin menguatkan keputusan halal yang dikeluarkan MUI dengan suatu peraturan mengikat.
Nantinya, MUI tetap sebagai lembaga yang mempunyai wewenang menentukan halal atau tidaknya suatu produk. Keterlibatan pemerintah dalam hal ini, dalam bentuk mengeluarkan sertifikat halal suatu produk yang ditetapkan oleh MUI.
Selanjutnya pemerintah akan mengikat sertifikasi itu dengan sebuah regulasi atau peraturan yang akan mengikat baik di dalam maupun luar negeri. Karena saat ini regulasi itu masih dikeluarkan MUI yang merupakan lembaga swasta.
Dikawatirkan regulasi itu tidak miliki kekuatan hukum. Suryadharma mengakui usulan ini masih menjadi perdebatan dengan MUI. Sebab, pemerintah menghendaki keterlibatan itu masuk dalam rancangan undang-undang.