Senin 07 Apr 2014 17:37 WIB

Menjadi Pemimpin yang Jujur (1)

Jujur itu pilihan (ilustrasi)
Foto: katamutiarabijak.net
Jujur itu pilihan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hannan putra

Jujur merupakan sifat nabi.

Suatu kali, Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat dengan tiga pertanyaan. “Wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa mencuri?” Rasulullah pun membenarkan, “Benar. Orang beriman bisa mencuri,” jawabnya.

Sahabat itu pun bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa berzina?” Lagi-lagi Rasulullah pun membenarkan. Orang beriman bisa saja khilaf dan jatuh pada perzinaan.

Pertanyaan ketiga, “wahai Rasulullah, apakah orang beriman itu bisa berbohong?” ujarnya. Kali ini jawaban Rasulullah berbeda. “Tidak!” ujar Rasulullah SAW menegaskan. (HR Tirmidzi).

Hadis ini pun menuai tanda tanya di kalangan cendekiawan Muslim. Bagaimana mungkin tindak kriminal, seperti mencuri dan perzinaan, mendapat tempat lebih rendah daripada berbohong?

Di dalam hukum jinayat secara jelas tercantum, pencuri terancam hukum potong tangan dan zina terancam hukuman rajam. Namun nyatanya, bagi si pembohong tidak mendapat hukuman apa-apa.

Perzinaan adalah seburuk-buruk kemaksiatan bagi diri seseorang. Sedangkan, pencurian seburuk-buruk kejahatan bagi kehidupan sosial.

Bisa dikatakan, perzinaan dan pencurian merupakan kejahatan terberat bagi diri sendiri dan orang lain. Ternyata, kejahatan ini pun masih kalah dengan kejahatan berbohong.

Sedemikian beratkah hukuman bagi pembohong sehingga tidak dikategorikan lagi sebagai golongan orang-orang beriman? Seberat-berat hukuman bagi pencuri dan pezina, ternyata tidak mengeluarkannya dari keimanan.

Tetapi, tidak berlaku bagi seorang pembohong. Dari hadis tersebut jelas dipahami, orang berbohong berarti bukan lagi bagian dari orang-orang beriman.

Hal ini dikuatkan lagi dengan hadis Rasulullah yang lain. “Siapa yang membohongi/mencurangi kami maka dia bukan lagi dari golongan kami (golongan orang-orang beriman).” (HR At-Thabarani dan Ibnu Hibban).

Kemudian, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS an-Nahl [16]: 105)

Dari hadis dan ayat ini tergambar sudah, berbohong bukanlah karakter orang beriman. Berperilaku dan bertutur kata dengan benar menjadi identitas seorang Mukmin. Artinya, kebenaran dan kebohongan merupakan garis pemisah antara orang beriman dan orang munafik.

Bukankah ketika seorang masuk Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat? Syarat sah berlakunya syahadat adalah kesaksian dengan sebenar-benarnya ia mengakui Allah sebagai Rabb dan Muhammad SAW sebagai Nabinya. Jadi, untuk menjadikan seorang kafir menjadi Muslim, yakni dengan sebuah kebenaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement