REPUBLIKA.CO.ID, Dasar pertama yang ditetapkan Islam, ialah bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada satu pun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya.
Kalau tidak ada nas yang sah—misalnya karena ada sebagian hadis lemah—atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat Alquran yang antara lain:
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (QS al-Baqarah: 29)
"(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripada-Nya." (QS al-Jatsiyah: 13)
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmat-Nya yang nampak maupun yang tidak nampak." (QS Luqman: 20)
Allah tidak akan membuat segala yang diserahkan kepada manusia dan dikaruniakan-Nya untuk kemudian diharamkan-Nya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan, dan karuniakan kepada manusia?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justru karena ada sebab dan hikmah, yang—Insya Allah—akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian, area haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali, dan area halal malah justru sangat luas. Justru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal, yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan (dibolehkan) Allah.
Untuk soal ini, ada satu hadis yang menyatakan sebagai berikut: "Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka dia adalah halal. Dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram. Sedangkan apa yang Ia diamkan, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu, terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikit pun." Kemudian Rasulullah membaca ayat, “dan Tuhanmu tidak lupa’.” (HR Hakim dan Bazzar).