Jumat 04 Apr 2014 08:40 WIB

Politisasi Ahli Kubur

Kuburan (ilustrasi)
Foto: ksacc.com
Kuburan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: KH Ali Mustafa Yaqub

Hampir setiap menjelang pemilihan umum (pemilu), ada perilaku aneh yang ditunjukkan penduduk negeri ini.

Menjelang Pemilu 2004, di Jawa Timur ada orang mengaku bertemu Sunan Ampel, salah seorang Wali Songo yang wafat kurang lebih enam abad lalu.

Pertemuan ini menurutnya dalam keadaan terjaga, tidak dalam keadaan mimpi. Ia mengklaim mendapat pesan dari Sunan Ampel untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia.

Yakni agar dalam pemilu, mereka memilih calon legislatif (caleg) dari partai anu dan calon presiden bernama fulan.

Dalam pemilu berikutnya, perilaku aneh seperti itu juga muncul termasuk menjelang dan saat kampanye Pemilu 2014 ini.

Sekurang-kurangnya, ada tiga tokoh yang sudah meninggalkan dunia ini, gambarnya banyak dipasang di berbagai tempat.

Mereka itu adalah Bung Karno (presiden pertama Republik Indonesia), KH Muhammad Hasyim Asy’ari (pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan Rais Akbar Partai Masyumi), dan KH Abdurrahman Wahid alias  Gus Dur (presiden keempat Republik Indonesia).

Gambar mereka banyak dipasang bersama calon caleg dan atau partai peserta pemilu. Pemasangan gambar tokoh-tokoh ahli kubur ini setidaknya memiliki beberapa tujuan.

Pertama, memberikan kesan tokoh ahli kubur tersebut  mendukung dan merestui caleg dan atau partai peserta pemilu.

Kedua, caleg dan atau partai peserta pemilu adalah pelanjut perjuangan tokoh-tokoh ahli kubur tersebut. Dalam sebuah syair bahasa Arab disebutkan,

Bukanlah pemuda sejati orang yang membanggakan orang tuanya, pemuda sejati adalah orang yang mengatakan, ‘inilah saya!

Maka pengusungan gambar tokoh-tokoh ahli kubur yang dilakukan sejumlah caleg menunjukkan yang bersangkutan tidak memiliki modal untuk bertarung dalam pemilu. Mestinya, para caleg menyodorkan program-programnya kepada rakyat yang akan memilihnya.

Bila program-program itu menarik dan dapat menjanjikan kesejahteraan rakyat, tentulah rakyat akan memilih para caleg itu. Namun tampaknya, mereka tidak memiliki program seperti itu. Mereka juga tidak mempunyai kepercayaan diri.

Jadi, untuk merebut hati para pemilih tidak ada cara lain bagi mereka kecuali menjual nama dan gambar tokoh-tokoh ahli kubur. Seharusnya, para tokoh ahli kubur itu tidak perlu dilibatkan dalam politik praktis apalagi pada saat kampanye.

Biarlah mereka tenang di alam baqa dengan diiringi doa-doa kita agar Tuhan menerima amal ibadah mereka dan mengampuni dosanya.

Politik memang terkadang menjungkirbalikkan hukum dan norma-norma sehingga kita terkadang sulit membedakan acara keagamaan dengan kampanye politik.

Mengawali kampanye pemilu tahun ini, ada partai peserta pemilu mengadakan acara haul (doa bersama) untuk seorang tokoh yang partai itu ikut melengserkannnya dari jabatannya. Sehingga masyarakat sulit membedakan sebuah acara keagamaan dengan kampanye politik.

Di sisi lain tampaknya masyarakat juga belum meninggalkan budaya emosional dalam mengikuti pemilu. Tampaknya rakyat belum mau bersikap kritis dalam memilih calon wakil mereka. Akibatnya kualitas anggota legislatif yang mereka pilih masih jauh dari harapan.

Kampanye yang dilakukan sejumlah caleg sebelum waktu kampanye yang telah ditentukan menunjukkan  yang bersangkutan memiliki kecenderungan melanggar aturan.

Tidak mustahil, apabila mereka menjadi anggota legislatif, mereka akan melanggar aturan-aturan yang berlaku.

Selagi perilaku caleg dan calon pemlih masih seperti itu maka kualitas demokrasi di negeri ini masih jauh dari harapan.

HIKMAH

Oleh KH Ali Mustafa Yaqub

Hampir setiap menjelang pemilihan umum (pemilu), ada perilaku aneh yang ditunjukkan penduduk negeri ini. Menjelang Pemilu 2004, di Jawa Timur ada orang mengaku bertemu Sunan Ampel, salah seorang Wali Songo yang wafat kurang lebih enam abad lalu.

Pertemuan ini menurutnya dalam keadaan terjaga, tidak dalam keadaan mimpi. Ia mengklaim mendapat pesan dari Sunan Ampel untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia. Yakni agar dalam pemilu, mereka memilih calon legislatif (caleg) dari partai anu dan calon presiden bernama fulan.

Dalam pemilu berikutnya, perilaku aneh seperti itu juga muncul termasuk menjelang dan saat kampanye Pemilu 2014 ini. Sekurang-kurangnya, ada tiga tokoh yang sudah meninggalkan dunia ini, gambarnya banyak dipasang di berbagai tempat.

Mereka itu adalah Bung Karno (presiden pertama Republik Indonesia), KH Muhammad Hasyim Asy’ari (pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan Rais Akbar Partai Masyumi), dan KH Abdurrahman Wahid alias  Gus Dur (presiden keempat Republik Indonesia).

Gambar mereka banyak dipasang bersama calon caleg dan atau partai peserta pemilu. Pemasangan gambar tokoh-tokoh ahli kubur ini setidaknya memiliki beberapa tujuan. Pertama, memberikan kesan tokoh ahli kubur itu mendukung dan merestui caleg dan atau partai peserta pemilu.

Kedua, caleg dan atau partai peserta pemilu adalah pelanjut perjuangan tokoh-tokoh ahli kubur tersebut. Dalam sebuah syair bahasa Arab disebutkan, “Bukanlah pemuda sejati orang yang membanggakan orang tuanya, pemuda sejati adalah orang yang mengatakan, ‘inilah saya!”

Maka pengusungan gambar tokoh-tokoh ahli kubur yang dilakukan sejumlah caleg menunjukkan yang bersangkutan tidak memiliki modal untuk bertarung dalam pemilu. Mestinya, para caleg menyodorkan program-programnya kepada rakyat yang akan memilihnya.

Bila program-program itu menarik dan dapat menjanjikan kesejahteraan rakyat, tentulah rakyat akan memilih para caleg itu. Namun tampaknya, mereka tidak memiliki program seperti itu. Mereka juga tidak mempunyai kepercayaan diri.

Jadi, untuk merebut hati para pemilih tidak ada cara lain bagi mereka kecuali menjual nama dan gambar tokoh-tokoh ahli kubur. Seharusnya, para tokoh ahli kubur itu tidak perlu dilibatkan dalam politik praktis apalagi pada saat kampanye.

Biarlah mereka tenang di alam baqa dengan diiringi doa-doa kita agar Tuhan menerima amal ibadah mereka dan mengampuni dosanya.

Politik memang terkadang menjungkirbalikkan hukum dan norma-norma sehingga kita terkadang sulit membedakan acara keagamaan dengan kampanye politik.

Mengawali kampanye pemilu tahun ini, ada partai peserta pemilu mengadakan acara haul (doa bersama) untuk seorang tokoh yang partai itu ikut melengserkannnya dari jabatannya. Sehingga masyarakat sulit membedakan sebuah acara keagamaan dengan kampanye politik.

Di sisi lain tampaknya masyarakat juga belum meninggalkan budaya emosional dalam mengikuti pemilu. Tampaknya rakyat belum mau bersikap kritis dalam memilih calon wakil mereka. Akibatnya kualitas anggota legislatif yang mereka pilih masih jauh dari harapan.

Kampanye yang dilakukan sejumlah caleg sebelum waktu kampanye yang telah ditentukan menunjukkan  yang bersangkutan memiliki kecenderungan melanggar aturan.

Tidak mustahil, apabila mereka menjadi anggota legislatif, mereka akan melanggar aturan-aturan yang berlaku. Selagi perilaku caleg dan calon pemlih masih seperti itu maka kualitas demokrasi di negeri ini masih jauh dari harapan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement