Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Tokoh-tokoh lain yang pandangannya berseberangan dengan Hamka, seperti Moh Yamin dan Pramoedya Ananta Toer, semuanya dimaafkan.
Hamka bersedia membimbing Moh Yamin dalam sakaratul mautnya dan mau membimbing calon menantu Pramoedya untuk menjadi mualaf.
Tahun 1955, ia terpilih menjadi anggota konstituante. Di sini ia selalu bersikeras untuk menegakkan dasar agama dalam berbangsa dan negara. Pada 1975, Buya Hamka dipercaya untuk menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama kalinya dan menjadi ketua umum Yayasan Pesantren Islam (YPI).
Ia kemudian menjadi imam besar masjid yang dibangun oleh YPI tersebut, yang kini bernama Al Azhar. Buya Hamka sendiri pernah mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo. Gelar yang sama juga diterimanya dari Universitas Moestopo Beragama dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Menurut Ketua MUI Amidhan, sosok Buya Hamka perlu diteladani oleh ulama-ulama pada zaman sekarang. Sebagai ulama yang berkecimpung dalam dunia politik, menurutnya, Hamka tak pernah mau berkompromi pada masalah akidah. “Ia seorang ulama, penjaga akidah Islam saat masa Indonesia sedang gamang,” ujarnya.
Buya Hamka, menurutnya, merupakan tokoh yang menjunjung tinggi integritasnya sebagai manusia yang beriman. Ia selalu bisa melunakkan dan berkompromi dengan tokoh-tokoh politik maupun sastrawan meski mereka berasal dari kelompok ekstrem dan tak sesuai berbeda pendapat dengannya.
Sebagai ulama dan sastrawan, kurang lebih ada 118 karya tulisan, baik berupa artikel dan buku yang telah dipublikasikan. Bidang yang menjadi kajiannya pun sangat luas, dari agama, filsafat sosial, tasawuf, roman, sejarah, autobiografi, dan tafsir Alquran yang dikenal sebagai Tafsir al-Azhar.