Kamis 03 Apr 2014 19:28 WIB

Mendalami Sikap dan Pemikiran Hamka (2)

Acara bedah buku
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Acara bedah buku "Ayah" di Universitas al-Azar, Jakarta. Peluncuran buku karya Irfan Hamka tersebut bertutur tentang kisah hidup Buya Hamka.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Tahun 1943, Buya Hamka didaulat menjadi Konsul Muhammadiyah Sumatra Timur. Kemudian pada 1947 ia menjadi ketua Front Pertahanan Nasional (FPN).

“Saat itu, Sumatra Barat sedang bergejolak dan butuh seseorang yang rela tetap mengobarkan semangat kemerdekaan serta persatuan dan kesatuan dari satu nagari (desa) ke nagari lainnya. Saat itu tak ada yang bersedia, namun Hamka tampil memberanikan diri,” kata Irfan Hamka.

Meski tugas ini berat karena harus berjalan kaki menyusuri hutan secara sembunyi-sembunyi, menggalang persatuan, mengobarkan semangat kemerdekaan kepada seluruh nagari di Sumatra Barat dengan berjalan kaki, tetap dilakukannya dengan penuh ketulusan.

Keluarganya pun ikut turut mengungsi dari satu hutan ke hutan lainnya menghindari kejaran tentara Belanda yang sedang melakukan agresi militer.

Satu hal yang perlu diteladani dari sosoknya, yakni sikapnya yang tak pernah melupakan keluarga.

Di tengah misinya yang sangat sulit tersebut, ia tetap menyempatkan diri untuk menemui keluarganya, memastikan mereka semua selamat dalam pelariannya menembus hutan, dan selalu membawa beras meski kondisinya sendiri sangat letih dengan bajunya yang telah lusuh.

Salah satu yang perlu diteladani dari Buya Hamka, yaitu selalu menjadi pemaaf dan tak pernah menaruh dendam. Pada masa rezim Sukarno, Hamka pernah dipenjara dengan alasan yang mengada-ada, dianggap merencanakan pembunuhan terhadap presiden dan kemudian dipenjara tanpa melalui proses pengadilan.

Semua buku yang ditulisnya dihancurkan dan ia mendekam di penjara selama dua tahun empat bulan yang ditempatkan di Sukabumi.

Namun, ia tak pernah menaruh dendam kepada Sukarno. Ketika Sukarno menuliskan amanah bahwa ingin Hamka memimpin shalat jenazahnya ketika ia meninggal, Hamka bersedia.

“Ia selalu memandang semua hal dari sisi positifnya, bahkan ketika dipenjara, ia tak membenci Sukarno namun malah bersyukur karena bisa punya kesempatan untuk menyelesaikan tafsir Alquran 30 juz, sungguh mulia sekali bukan?” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement