Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Hamka menciptakan dunia sendiri dan terbuka wawasannya pada banyak hal melalui jendela dunia bernama buku.
Ia juga suka membawa buku tulis ke mana-mana, berisikan ide-ide dan apa saja yang harus diingatnya.
“Sekolahnya tak pernah tamat, namun ia banyak menghabiskan waktu dengan belajar sendiri, secara otodidak dengan banyak membaca. Jika ulama-ulama lain belajar dari nol hingga tamat, Hamka justru mencari sendiri ilmunya,” kata Irfan.
Semangat untuk terus belajar dan pantang menyerah terpancar dalam diri Buya Hamka. Dalam usia yang masih sangat muda, meski pernah gagal karena terkena penyakit cacar, keinginannya untuk pergi ke Jawa masih membuncah dalam dirinya.
Dalam buku karangan putra Buya Hamka, Irfan Hamka, yang berjudul Ayah, diceritakanlah bagaimana perjuangan ulama besar ini untuk selalu mandiri mencari ilmu dan tak pernah berhenti belajar.
Setelah mendapat restu dari ayahnya, Buya Hamka akhirnya bisa berhasil merantau dan tiba di Yogyakarta. Sesuai dengan cita-citanya, di sana ia bisa belajar dari tokoh-tokoh besar Sarekat Islam. Ia juga memperdalam ilmu agama, logika, dan cara berorganisasi.
Sepulangnya dari tanah Jawa, Hamka sangat percaya diri dengan kemampuannya dalam berpidato. Namun, ia menemui satu ujian lagi. Saat itu, di Padang Panjang akan didirikan sekolah Muhammadiyah.
Orang pun berbondong-bondong untuk melamar menjadi guru di sana, termasuk Hamka. “Namun, ia tidak diterima, dengan alasan karena tak punya ijazah diploma, ini sangat memukul batinnya, apalagi ayahnya sendiri juga ikut mendirikan sekolah tersebut,” jelas Irfan.
Tak larut dalam kesedihan, Hamka justru membuat peristiwa ini melecut semangatnya untuk terus menimba ilmu. Makkah adalah kemudian yang menjadi tujuannya. Dengan uang seadanya, ia nekat berangkat ke Tanah Suci untuk belajar.
Di sana, ia kembali dipertemukan dengan dunia buku. Di samping ia belajar pada guru-guru agama, ia juga bekerja di sebuah percetakan. Ini membuat kesempatannya untuk membaca buku-buku semakin mudah.