Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Kecerdasan dari penderitaan
Semua kalangan mengakui Buya Hamka adalah seorang ulama yang sangat cerdas. Kita pun bisa menilainya dari karya-karya yang ditulisnya, dari novel-novel sastra klasik hingga buku agama, seperti Tasawuf Modern dan Tafsir al-Azhar.
Rekaman ceramahnya yang dulu diberikan melalui RRI dan TVRI pun masih bisa kita temukan dan dari caranya berceramah, kita akan terkagum-kagum dibuatnya.
Rasa penasaran pun muncul, dari mana semua kecerdasan dan otak cemerlang itu berasal? Putra kelima Buya Hamka, yaitu Irfan Hamka, pun memberikan jawabannya. “Otaknya yang cerdas tersebut lahir dari penderitaan yang pernah dialaminya,” katanya.
Hamka adalah putra dari seorang ulama yang disegani di Sumatra Barat, Abdul Karim namanya. Karena ingin menjadikan Malik, panggilan kecil Buya Hamka, sebagai ulama, ia kemudian memasukkannya ke sekolah formal pada masanya, yaitu sekolah desa dan sekolah pendidikan agama sekaligus, yaitu diniyah.
Irfan bercerita, saat itu Hamka kecil banyak dicemooh oleh anak-anak seusianya karena bersekolah di sekolah desa, yang merupakan sekolah dengan derajat yang lebih rendah. Meski baru berusia 10 tahun, perlakuan seperti ini membentuk pribadi Hamka menjadi orang yang sabar dan kuat.
Ujian pun datang. Saat berusia 12 tahun, orang tuanya bercerai. Ibu dan ayahnya kemudian masing-masing menikah lagi. Perceraian orang tuanya ini membuat Hamka yang masih sangat muda kehilangan pegangan dan pendidikannya terbengkalai.
Namun, dalam diri Hamka, ia bertekad untuk menjadi manusia yang berguna. Dalam kegundahannya ini, kemudian ia lari pada buku-buku.
Ia banyak membaca di sebuah taman bacaan di Padang Panjang. Semua jenis buku dilahapnya, termasuk buku-buku karangan cendekiawan Indonesia, yaitu KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, Bagus Hadikusumo, dan lain sebagainya.
“Melihat tulisan mereka ini membuat Hamka yang masih sangat muda membulatkan tekad untuk pergi ke Jawa, ingin belajar pada orang-orang pintar ini,” kata Irfan.
Tanpa sepengetahuan ayahnya, Hamka nekat ingin berkelana pergi ke Jawa sendirian. Namun, malang, baru sampai di Bengkulu, ia terkena penyakit cacar. Tiga bulan lamanya ia sakit, demam, dan berada dalam keadaan kritis.
Setelah sembuh, ia diantar kembali ke Padang Panjang oleh kerabatnya. Meski telah sembuh, penyakit cacar ini meninggalkan bekas luka dan bopeng yang membuat wajah Hamka tak lagi rupawan.