Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Buya Hamka tidak pernah merendahkan atau menyepelekan orang lain.
Namanya adalah Haji Abdul Malik Karim Abdullah. Saat menulis buku dan artikel, ia menggunakan nama HAMKA yang merupakan singkatan dari nama lengkapnya. Publik kemudian mengenalnya dengan nama Buya Hamka.
Ia lahir di Maninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Sudah 106 tahun yang lalu ulama besar ini lahir dan meninggalkan kita pada 24 Juli 1981. Meskipun Buya Hamka telah tiada, ceramah dan pemikiran, juga karya-karyanya masih bisa dijadikan pegangan oleh umat Islam.
Banyak tokoh Islam yang terinspirasi dan kagum pada sosoknya. Salah satunya adalah mantan wakil presiden Jusuf Kalla.
Bagi pria asal Makassar ini, Buya Hamka adalah salah satu contoh ulama yang sangat cerdas dan patut ditiru caranya dalam berceramah. “Setiap ceramah, isinya selalu berbeda, ia selalu punya bahan yang kaya untuk diceritakan kepada umat,” ujarnya.
Ceramah dan pidatonya juga selalu menjadi inspirasi, menurut tokoh Muslim perempuan, Tuty Alawiyah. “Buya Hamka seperti guru bagi saya,” ujarnya. Setiap ceramahnya membuat umat tergugah dan membentuk pribadi Muslim menjadi lebih baik.
Ia ingat, saat dulu setelah mendengar ceramah Buya Hamka, ia kemudian merasa lebih kuat, seperti ada yang mendorongnya untuk selalu bisa menjadi pribadi yang penuh dengan kemenangan. “Secara tidak langsung, ia menguatkan saya. Bahwa saya mampu untuk memimpin masyarakat, pribadi, dan keluarga,” katanya.
Menurutnya, Buya Hamka adalah pribadi yang sangat cerdas. Masih terkenang dalam ingatannya, waktu itu ayahnya mengundang Buya Hamka dalam acara peresmian masjidnya. Saat itu, Buya Hamka diundang sebagai tamu, namun tiba-tiba ayahnya meminta untuk berceramah.
“Dalam waktu singkat, Buya Hamka bisa meramu ceramahnya, menghubung-hubungkan dengan apa yang dilihatnya saat itu, menjadi sebuah ceramah yang membuat orang terkagum-kagum,” kata Tuty.
Ia juga kagum dengan sosok Buya Hamka yang tidak pernah merendahkan atau menyepelekan orang lain. Saat ia masih muda dulu, Tuty pernah menyurati Buya Hamka, menyatakan ketidaksetujuannya karena menyebut Allah dengan kata “seorang” pada novelnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah.
“Buya Hamka tidak marah atau menghina atas sikap kritis seseorang yang masih muda. Ia kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan gamblang dalam surat sebanyak tiga lembar, mengatakan bahwa keputusannya menggunakan kata ‘seorang’ tersebut ada maksudnya,” ujar Ketua BKMT ini.