Rabu 26 Mar 2014 07:31 WIB

Catur, dari Rakyat hingga Raja (3-habis)

Ilustrasi
Foto: Fhs.d211.org
Ilustrasi

Oleh: Ani Nursalikah

Kontroversi di Negeri Mullah

Catur juga menyebar karena dibawa para pedagang yang melalui rute Asia Tengah hingga ke perbatasan Rusia.

Perlu diketahui, bidak-bidak catur asal Persia dari abad ketujuh dan delapan ditemukan di Samarkand dan Farghana. Tahun 1000 saja catur telah menyebar lebih jauh lagi.

Para pedagang Viking membawanya ke Skandinavia bersama koin-koin Arab dan patung Buddha. Pada abad ke-11 catur bisa ditemukan di Islandia. Literatur Islandia yang ditulis pada 1155 menyebutkan, Raja Denmark Knut Agung bermain catur pada 1027.

Pada abad ke-14 catur diterima secara luas di Eropa. Raja Alfonso X alias “Si Bijak” menulis Buku Catur dan Permainan Lain abad ke-13. Bahkan, pada 1769 dibuat “robot” catur.

Selain itu, Wolfgang de Kempelen dari Hungaria memberi hadiah kepada ratunya, Permaisuri Maria Theresa, yang tergila-gila pada catur. Ia menghadiahkan “robot” yang diberi nama “Iron Muslim” yang kemudian diberi nama Turki Ottoman.

Robot ini mampu mengalahkan para pemain catur hebat saat itu. Robot tersebut merupakan gabungan antara desain mekanik dan tipuan. Robot itu hanya berbentuk kotak menyerupai lemari.

Jangan salah, di dalamnya duduk pemain catur yang bertugas menjalankan bidak-bidak catur. Robot ini bertahan selama 85 tahun dan 15 pemain secara bergantian memainkannya.

Meski sejarah catur tidak bisa dilepaskan dari Iran namun negeri para mullah ini pernah melarang permainan catur. Usai revolusi Islam pada 1979, catur dilarang dimainkan di tempat umum. Apa sebabnya? Bermain catur dinilai bisa memicu masyarakat berjudi dan bermain curang.

Pada 1988, ketika pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khomeini akhirnya mencabut larangan tersebut, catur disambut kembali dengan luar biasa. Bahkan, Iran mengadakan kejuaraan catur.

Namun, pada 2000 pemimpin oposisi Gerakan Kebebasan Iran Ebrahim Yazdi menyatakan, permainan kuno itu haram. “Masalah yang dihadapi Iran adalah tidak adanya hukum,” katanya.

Secara teori, fatwa itu tidak memiliki nilai legal. Tapi, dalam praktiknya tokoh di Iran biasanya mempunyai kekuasaan untuk turut campur pada kebebasan rakyatnya. Iran harus menunggu hingga 2001 sebelum akhirnya pelarangan itu dicabut kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement