Rabu 12 Mar 2014 18:52 WIB

Pro-Kontra Pesawat Khusus Haji (2-habis)

Rep: Mohammad Akbar/ Red: Chairul Akhmad
Pesawat Garuda Boeng 767-A300 yang mengangkut jamaah haji.
Foto: Antara/Ampelsa
Pesawat Garuda Boeng 767-A300 yang mengangkut jamaah haji.

REPUBLIKA.CO.ID, Hal terpenting yang harusnya diurus oleh Kementerian Agama adalah melakukan pembinaan umat. Sekarang ini, peran itu justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat.

Lebih jauh, Kurdi mengatakan ketika membeli sebuah pesawat, perlu ada biaya untuk pemeliharaan. Hal itu tidak gampang dilakukan. Belum lagi, kata dia, untuk terbang, memerlukan biaya membeli avtur.

“Tentunya semua itu memerlukan dana yang tak sedikit. Kalau memang berniat seperti itu, seharusnya BUMN saja. Tokh, uangnya kan akan kembali lagi ke negara,” tandasnya.

Sementara, anggota Dewan Penasihat Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Himpuh) HM Rum Mashur menilai sebaliknya. Ia mengatakan pemikiran untuk membeli pesawat ini sebenarnya sudah muncul sejak 20 tahun silam. Ia tak setuju jika persoalan mengurus umat itu hanya diterjemahkan dalam cara berpikir yang sempit.

Menurut dia, persoalan haji ini juga menjadi bagian dalam mengurus umat. Sedangkan, jika harus diserahkan kepada BUMN, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, kalau Kemenag memiliki pesawat haji sendiri, yang akan menjadi operatornya adalah BUMN, dalam hal ini adalah Garuda Indonesia.

“Persoalan mengurus umat dan BUMN itu merupakan dua sisi yang beda. Haji itu memang hablumminallah. Tetapi, di sana ada proses yang melahirkan hablumminannas,” katanya.

Rum mengungkapkan setiap tahun jumlah haji reguler yang dibawa oleh pemerintah sebanyak 194 ribu jamaah. Dari total itu, maskapai Garuda Indonesia membawa sekitar 110 jamaah. Jamaah-jamaah itu diangkut dari 12 embarkasi, mulai dari Aceh hingga yang terbaru di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Lantas, berdasarkan fakta yang ada, ia menyebut Garuda secara total melakukan 384 kali penerbangan. Dari total penerbangan itu, Garuda menggunakan dua pesawat sendiri, selebihnya menyewa.

“Artinya, kalau Garuda itu menyewa, keuntungannya menjadi milik pemilik. Nah, dalam konteks inilah, Kemenag bisa saja menjadi power of money (pemilik uang) dan Garuda berperan sebagai operatornya.”

Kemudian, untuk di luar musim haji, Rum mengatakan volume penerbangan Garuda juga cukup tinggi untuk mengangkut jamaah yang ingin umrah. Ia mengatakan dalam sepekan, Garuda bisa melakukan 14 kali penerbangan. “Nah, daripada uang Rp 50 triliun itu tidur, tentu akan lebih baik dimaksimalkan.”

Rum menjelaskan memang tak ada usaha yang tidak memiliki risiko. Namun, ia menyebut risiko itu bisa diminimalisasi dengan memakai asuransi.

“Saya yakin tidak ada pembuat pesawat terbang di dunia ini yang dibayar (pembeliannya) secara tunai. Kalau itu dilakukan, perusahaan asuransi dan leasing itu tidak akan berjalan. Untuk skim-nya seperti apa, itu adalah hal teknis,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement