Selasa 11 Mar 2014 18:31 WIB

Memakai Jilbab, Antara Wajib dan Mubah (2-habis)

Busana Muslimah (ilustrasi).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Busana Muslimah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Menurut al-Qurtubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Dengan kata lain, ayat ini menyuruh kaum Mukminat yang telah baligh untuk menutup aurat mereka supaya mudah dikenali sehingga tidak mendapat gangguan.

Dan hadis Nabi SAW berikut:

“Diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Asma binti Abu Bakar mendatangi Rasulullah dengan memakai baju yang tipis sehingga Rasulullah SAW berpaling darinya dan bersabda: "Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu jika telah mencapai usia haid maka tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR Abu Dawud dan ia berkata: Ini adalah hadis mursal Khalid bin Duraik, dia tidak pernah bertemu dengan Aisyah RA)

Hadis ini menguatkan isi kandungan kedua ayat di atas, yaitu kewajiban seorang wanita Muslimah yang telah baligh untuk menutup auratnya, dan auratnya itu—menurut hadis ini—adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Namun realitanya seperti apa yang saudara katakan. Masih banyak wanita Muslimah yang tidak menaati ajaran Islam yang mulia dan memuliakan wanita ini. Dalam memahami dan melaksanakan perintah Allah yang wajib hukumnya ini kaum Muslimah berbeda-beda peringkatnya.

Ada yang memahami kewajiban berjilbab lalu melaksanakannya dengan baik sebagaimana diperintahkan. Ada pula yang memahaminya tapi melaksanakannya setengah-setengah atau pilih-pilih tempat seperti yang anda ungkapkan.

Dan ada pula yang memahaminya tapi malas atau enggan melaksanakannya karena beberapa alasan seperti merasa malu atau tertekan atau susah berjilbab karena tidak biasa sejak kecil dan seterusnya. Padahal kewajiban menutup aurat ini sama dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam ajaran Islam seperti shalat, puasa dan haji.

Hukum wajib itu artinya harus atau mesti dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan, dan bagi yang melaksanakannya akan diberi pujian dan pahala oleh Allah, sementara orang yang meninggalkannya akan mendapat celaan dan dosa. Namun perlu dijelaskan pula bahwa dalam ajaran Islam, hal-hal yang diwajibkan itu meskipun sama-sama berdosa jika ditinggalkan, tapi dosa-dosa itu juga berperingkat-peringkat.

Contohnya, Muslimah yang tidak mau berjilbab karena malas atau enggan dosanya tidak sama dengan dosa Muslimah yang tidak mau shalat lima waktu karena malas atau enggan misalnya. Ini karena shalat itu rukun Islam sementara berjilbab itu bukan.

 

Contoh lain, Muslimah yang menampakkan sebagian kecil auratnya tentu dosanya berbeda dengan Muslimah yang menampakkan sebagian besar auratnya. Ini karena menampakkan sebagian besar aurat lebih berat dibanding menampakkan sebagian kecilnya. Demikian seterusnya.

Yang jelas, melihat realita yang ada di dalam masyarakat kita ternyata berbeda dengan perintah Allah dan RasulNya tersebut, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk beramar-makruf dan nahi-mungkar. Hal ini tentu seharusnya dimulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita masing-masing. Hendaknya kita mendidikkan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam masalah menutup aurat ini kepada anak istri dan perempuan-perempuan yang menjadi tanggungan kita. Lalu kaum wanita yang satu dakwah dan pergerakan dengan kita. Lalu barulah masyarakat luas yang ada di sekeliling kita.

Semoga dengan demikian ajaran menutup aurat yang mulia dan memuliakan kaum wanita ini dilaksanakan oleh kaum muslimat dengan penuh kerelaan dan kesadaran yang tinggi. Amin. Wallahua'lam.

sumber : Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement