Senin 10 Mar 2014 01:39 WIB

Praktik Perdukunan Semakin Menggejala (2-habis)

Rep: Mohammad Akbar / Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Subairi sudah kerap mendengar bagaimana para petinggi negeri ini harus menggunakan jasa dukun untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia menyebut di antaranya mantan presiden Soeharto yang cukup dikenal dengan beragam sikap klenik.

Padahal, kata dia, para pendahulu negeri ini ketika membangun bangsa sangat mengedepankan nilai dan etos kerja yang tinggi.

Ia juga mengatakan, rusaknya tata nilai yang terjadi di masyarakat tak lepas juga dari semakin lemahnya peran tokoh maupun organisasi masyarakat (ormas) agama untuk memainkan peran mendidik. ''Akhirnya, seperti yang terjadi sekarang. Kita sudah begitu permisif terhadap hal-hal semacam ini,'' katanya.

Kurangnya pemahaman keislaman

Pemahaman keislaman di tengah masyarakat Indonesia masih sangat minim. Lalu, secara sosiologi historis, Indonesia memiliki keeratan dengan berbagai hal yang bersifat klenik.

''Hal itulah yang kemudian membuat banyak orang di Indonesia, termasuk di dalamnya dari kelompok kelas menengah, yang mengambil jalan pintas dengan mendatangi dukun atau orang pintar,'' kata motivator dan penulis buku Islam, Muhsinin Fauzi.

Mengenai hal klenik yang erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, Muhsinin menjelaskan, hal itu tecermin dari tumbuhnya keyakinan dinamisme dan animisme dari para leluhur. Pada saat yang sama, pemahaman keislaman juga masih belum maksimal.

Hal tersebut tecermin dari pelajaran agama di sekolah-sekolah formal yang sangat terbatas. Dari tingkat sekolah dasar hingga atas, Muhsinin mengatakan, waktu yang diberikan tak sampai satu jam per pekan. Begitu juga saat di perguruan tinggi yang hanya memberikan beban tiga SKS selama empat tahun.

''Itu artinya, kesempatan untuk mendalami agama di masyarakat kita masih sangat sempit. Kalau di luar tidak menambah, praktis mereka tidak punya tambahan ilmu tentang agama. Sehingga, tidak heran jika kemudian banyak orang yang terjebak dengan mendatangi paranormal dan sejenisnya,'' kata pria yang juga aktif mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) ini.

Selain kedua faktor tadi, Muhsinin juga melihat serbuan pemahaman materialistis juga menjadi penyebab lain. Sekarang ini, tren pemberhalaan terhadap benda semakin tinggi. Hal itu telah merasuk hampir ke seluruh lini kehidupan masyarakat Indonesia. ''Kalau kita melihat sekarang, semuanya selalu berujung pada benda dan duit. Inilah yang membahayakannya.''

Untuk mengeliminasi hal tersebut, ia melihat perlu adanya keterlibatan banyak pihak. Masyarakat dan ulama perlu aktif berperan. Namun sayangnya, kata dia, dakwah sekarang ini masih terjebak pada proses penyampaian saja.

''Masih belum menuju kedalaman ilmu. Kalau kedalaman ilmu itu sudah dicapai, maka tahap berikutnya bagaimana mengubahnya menjadi perilaku. Inilah kerja keras kita semua,'' ujarnya.

Muhsinin menjelaskan, untuk hal semacam ini perlu dua metode dakwah yang dilakukan. Dakwah tersebut dapat dilakukan secara kultural dan struktural. Untuk kultural, bagaimana mengubahnya menjadi perilaku.

Sedangkan untuk dakwah struktural dilakukan melalui produk perundang-undangan. ''Dengan adanya sinergi dua hal ini, insya Allah bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasi hal ini,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement