Selasa 04 Mar 2014 11:37 WIB

Membangun Wisata Syariah

Hotel syariah (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditnya Pradana Putra
Hotel syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Amri Amrullah/Wulan Tunjung Palupi 

Indonesia rugi jika tidak fokus pada segmen wisata ini.

Muslim membelanjakan dana besar untuk wisata. Pada akhir 2013 Thomson Reuters merilis data yang menunjukkan belanja Muslim secara global sepanjang 2012 untuk melancong ke negeri-negeri lain mencapai 137 miliar dolar AS.

Dalam laporan berjudul State of The Global Islamic Economy 2013 Report, disebutkan jumlah ini sama dengan 12,5 persen dari keseluruhan nilai belanja pariwisata dunia.

Angka itu belum termasuk belanja untuk umrah dan haji. Dan, menurut perkiraan mereka, pada 2018 belanja Muslim untuk keperluan wisata menembus 181 miliar dolar AS.

“Sebagai negara yang Muslim friendly, Indonesia dan Malaysia rugi jika tidak fokus ke segmen ini," kata Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia Dato Seri Nazri Bin Tan Sri Abdul Azis saat membuka Joint Seminar on Islamic Tourism di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (17/2).

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar mengatakan, saat ini Indonesia memang sedang bertransformasi besar dalam wisata di Tanah Air. Bentuknya berupa penyediaan dan pengelolaan wisata syariah.

Ini merupakan dimensi etika baru dalam wisata. Tak terbatas pada wisata religi semata, tetapi meluas ke semua bentuk wisata selama tak bertentangan dengan nilai Islam. “Pasar wisata syariah ini memiliki prospek sangat progresif ke depan," ujar Sapta, Kamis (27/2).

Bukan tanpa alasan Indonesia menaruh perhatian pada pengembangan wisata syariah. Ia mengungkapkan, di dunia saat ini Muslim merupakan komunitas agama terbesar kedua setelah Kristen dengan jumlah pemeluk yang mencapai lebih dari 1,62 miliar jiwa.

Merujuk pada data statistik ini, umat Islam mengisi 23 persen populasi manusia di bumi. Mereka memiliki etika hidup yang diatur dalam syariat. Ini mencakup keuangan syariah, asuransi, makanan dan minuman halal, obat dan kosmetik, pakaian, juga wisata.

Dengan pertumbuhahan yang sangat pesat ditambah perbaikan kehidupan mereka saat ini, umat Islam menjadi kekuatan baru dalam wisata global. Bahkan, diperkirakan pada 2020 pasar wisata Muslim global melebihi pasar wisata di lima negara besar.

Kelima negara itu adalah Jerman, Amerika Serikat (AS), Cina, Inggris, dan India. “Indonesia berpeluang memimpin wisata syariah dunia secara global,” kata Sapta. Di Indonesia, wisata syariah dikembangkan dalam tiga hal, yakni wisata alam, budaya, dan wisata buatan.

Di sisi lain, Sapta menyatakan, dalam draf Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2/2014 dijelaskan tentang pedoman usaha hotel, restoran, dan paket sesuai syariah. Aturan ini akan mendukung standar pengelolaan wisata syariah oleh pelaku usaha.

Hal sama disampaikan Ketua Asosiasi Hotel dan Restauran Syariah Indonesia (AHSIN) Riyanto Sofyan. Dalam aturan tersebut dijelaskan tiga hal pengelolaan syariah di hotel dan restoran, seperti standar bersuci, beribadah, serta makanan dan minuman halal.

Keberadaan aturan ini mendukung upaya sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap restoran yang telah berstandar syariah. Paling tidak, sudah ada 300-an restoran bersertifikat halal. Sebanyak 25 di antaranya merupakan bagian dari fasilitas hotel.

Sedangkan, untuk fasilitas hotel syariah, sertifikasinya oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Ada dua standar bagi hotel syariah yang disebut Hilal. Menurut Riyanto, Hilal 1 berarti dapur restoran sudah menggunakan standar kehalalan.

Namun, di bar hotel tersebut bisa jadi masih ditemukan minuman beralkohol. Sedangkan, Hilal 2 berarti seluruh fasilitas hotel telah sesuai syariah. “Sekarang terdapat sekitar 22 hotel syariah yang jadi percontohan Hilal 1,” kata Riyanto.

Sementara itu, 20 hotel lainnya menerapkan standar Hilal 2. Ia mengakui, pemenuhan standar ini bergantung pada persepsi pengelola hotel. Masih banyak pengusaha Muslim yang enggan menggunakan standar tersebut.

Alasannya, mereka meyakini, hotelnya sudah sesuai syariah tanpa perlu disertifikasi. Menurut Riyanto, inilah kelemahan dan kesulitan menstandarkan syariah di Indonesia. Padahal, proses mendapatkan standar syariah cukup mudah.

Karena itu, ia mengimbau pengusaha hotel dan restoran Muslim segera mengurus sertifikasi. Langkah ini strategis sebagai pelayanan bagi seluruh wisatawan Muslim dalam negeri maupun mancanegara.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengaku, peluang wisata syariah besar. Tapi, potensi ini tak bakal tergali dengan baik kalau hotel dan restoran halal tak memadai jumlahnya.

Dua fasilitas inilah yang menjadi faktor penting berduyunnya wisatawan Muslim ke Indonesia. “Ini bergantung kemauan pelaku usaha perhotelan dan restoran memanfaatkan peluang wisata Muslim tersebut,” kata Lukman.

Bila mereka bersedia melakukan sertifikasi halal, semakin banyak wisatawan Muslim berdatangan ke Indonesia. Tapi, sampai saat ini hotel halal yang ada di Indonesia masih sedikit. Jumlahnya baru mencapai puluhan.

Restoran halal juga mestinya semakin banyak agar mampu menarik wisatawan Muslim dari mancanegara. Di Malaysia, hotel-hotel besar mengantongi sertifikat halal. Konsumen non-Muslim tak masalah dengan status ini.

Menurut Lukman, itu pertanda di negeri jiran tersebut sertifikasi halal bukan lagi bersifat sukarela, melainkan wajib. Berbeda dengan di Indonesia, sertifikasinya sukarela. Ia mengakui, pemerintah memiliki niat besar mengembangkan wisata syariah.

Mereka membuat panduan layanan, baik di hotel maupun restoran yang mendukung wisata syariah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menjalankan kebijakan sama. “Kami juga siap membantu soal sertifikasi halal hotel dan restoran.” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement