REPUBLIKA.CO.ID, Scott Patrick Hassan Hoffman, lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Yahudi reformis. Saat ini, ia tengah menyelesaikan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi di Northern Virginia, Amerika Serikat.
Ibunya seorang Yahudi dan ayahnya penganut Katolik. Setiap akhir pekan, Scott menghabiskan waktu dengan belajar di sekolah Ibrani dan menghadiri Misa di gereja. “Semua kegiatan itu sebenarnya tidak menarik bagiku, bahkan sejak aku masih kanak-kanak,” tuturnya kepada IfoundIslam.net.
Scott juga sering pergi ke sinagog (tempat ibadah orang Yahudi) di Cleveland, Ohio. Tetapi ia tidak pernah merasa cocok di tempat itu. Malahan, ia merasa seperti orang luar karena memiliki seorang ayah Katolik.
Ia bahkan pernah mendapat masalah dengan seorang guru Yahudi di situ lantaran mengangkat-angkat nama Yesus. “Sejak kejadian itu, aku tidak pernah merasa nyaman berada di sinagog itu,” ujarnya.
Pada usia 12 tahun, Scott dan ibunya pindah ke pinggiran Kota Washington DC. Di sana mereka bergabung dengan jemaat sinagog lokal setempat. Tidak banyak orang Yahudi tinggal di daerah itu. Dan sinagog tersebut adalah satu-satunya tempat yang terdekat.
Sinagog itu dipenuhi anggota dari kalangan yang memiliki latar belakang ekonomi sangat makmur alias orang kaya. “Semua anak-anak di situ sangat senang membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan materi,” kata Scott.
Ia yang ketika itu masih remaja sesungguhnya tidak ingin membicarakan soal agama setiap detik di sekolah. Sejak menjalani ritual Konfirmasi, sebenarnya Scott sudah dianggap sebagai orang Yahudi seutuhnya. Namun, kata dia, hal itu ia lakukan semata-mata untuk membuat keluarganya bahagia saja.
Scott menegaskan dirinya tidak membenci agama Yahudi. Menurutnya, agama ini justru sangat membantunya dalam mempelajari Islam. “Apalagi aku sudah mengenali isi Taurat pula. Meskipun begitu, banyak pengalaman yang menyebabkanku menolak ajaran Yahudi. Ini membuatku tidak tahan dan merasa sangat hancur.”
Tertarik Islam
Disamping kuliah, Scott juga memiliki pekerjaan. Pada November 2012, ada seorang perempuan yang baru bergabung di tempat kerjanya. Selama beberapa bulan, mereka berteman dengan baik. Mereka bahkan bisa membicarakan topik apa pun satu sama lain tanpa merasa risih.
Belakangan, ia menyadari kalau perempuan itu ternyata seorang Muslimah. Tanpa sepengetahuannya, Scott pun mulai membaca sedikit tulisan tentang Islam. “Aku penasaran, karena semua sifat yang ditunjukkan temanku itu benar-benar bertolak belakang dengan apa yang kerap ditampilkan oleh media Amerika mengenai Islam,” tuturnya.
Kebetulan ia juga seorang kutu buku. Ia sudah melahap banyak literatur tentang sejarah, politik, dan agama. “Jadi, awal ketertarikanku mempelajari Islam bermula dari sudut pandang ini juga.”
Akhirnya, Scott meminta sang kawan dan suaminya untuk memberi pengetahuan lebih lanjut mengenai Islam. Pada awalnya, mereka kelihatan ragu-ragu karena tidak ingin dianggap memaksa Scott untuk berpindah keyakinan. Scott pun menjelaskan kepada mereka bahwa ia hanya ingin belajar tentang Islam.
“Setelah mendengarkan penjelasanku, mereka sangat senang dan antusias berbagi pengetahuan denganku. Sekarang, aku telah menganggap temanku dan suaminya itu seperti saudara kandungku sendiri, tidak kurang dari itu.”