REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Habib Sayid Idrus adalah ulama besar yang punya andil besar dalam tegaknya dakwah Islam melalui pendidikan di kawasan timur Indonesia. Ia dikenal dengan sapaan Guru Tua.
Pemilik nama lengkap as-Sayed Idrus bin salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdulah at-Tarisi bin Alwi al-Khawasah bin Abu Bakar al-Jufri al-Husain al-Hadhramy itu mendirikan Madrasah Alkhairaat pada 1930.
Kehadiran lembaga tersebut, bak oase di tengah gurun, menjadi penyejuk iman di tengah masyarakat yang terus dihadapkan pada kegiatan misionaris.
Ia lahir jauh dari Sulawesi, namun namanya harum di bumi Celebes ini. Pada 14 Sya'ban 1309 H atau 15 Maret 1881 M, ia lahir di sebuah kota bernama Taris, Hadramaut, di sebelah selatan Yaman.
Ia terlahir di lingkungan yang kental keislamannya. Keluarganya merupakan keluarga ulama terpandang, yang selalu baik, berilmu, beramal, bertakwa, dan lemah lembut.
Garis keturunannya selalu menjadi ulama. Dan jika dirunut sanadnya, ia punya jalur keturunan dari Husain bin Fatimah az-Zahra, yaitu cucu Rasulullah SAW.
Ayahnya bernama Habib Salim, seorang ulama yang disegani, yang menjabat sebagai qadi dan mufti di negerinya.
Begitu pula kakeknya, Habib Alwi bin Segaf Aljufri, pakar agama yang termasuk lima ahli fikih terkemuka di Hadramaut. Fatwa-fatwa sang kakek terekam dalam Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyed Abdurrahman al-Masyhur.
Berada di keluarga ulama seperti ini, membuat Idrus kecil selalu mendapatkan pendidikan agama sepanjang waktu, dari ayahnya dan ulama-ulama besar lain di kawasan Hadramaut.
Otaknya yang cerdas membuat Habib Idrus cepat menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, tasawuf, fikih, tauhid, mantiq, sastra, gramatikal, falak, dan sejarah.
Bahkan, sepeninggal sang ayah, dalam usia yang masih belia, ia pun menggantikan posisi ayahnya sebagai qadi dan mufti di Taris.
Ketika berusia 17 tahun, Guru Tua pernah mengunjungi Indonesia. Pada 1922, ia kembali datang dan akhirnya menetap di nusantara. Kedatangannya kali kedua ke Indonesia itu, lantaran terusir dari tanah kelahirannya oleh penjajah Inggris.
Ia bersama ulama-ulama lain menjadi pelopor kemerdekaan dan mengobarkan api perlawanan pada penjajah Hadramaut. Ia kemudian diutus untuk mengemban misi ke negara-negara Arab, agar bisa memuluskan perjuangan memperoleh kemerdekaan.
Namun sayang, misi ini gagal karena ia dikhianati. Ketika berada di tengah jalan, saat itu di Aden, ia ditangkap oleh Inggris dan dokumennya dirampas.
Ia pun dilarang pergi ke Arab, namun disuruh memilih untuk pulang ke Hadramaut atau ke negara Asia Tenggara. Saat itu ia memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Keputusannya tersebut mengantarkannya sebagai sosok ulama yang banyak dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Saat tiba di Indonesia, kota pertama yang ditujunya adalah Pekalongan. Di sana ia kemudian menikah dengan Aminah binti Thalib al-Jufri, dan menghidupi keluarga dengan berdagang batik.
Sayang, ia tak begitu sukses sebagai pedagang. Kecintaannya pada dunia pendidikan mengantarkan langkah kakinya ke Kota Solo dan ia menjadi guru di Madrasah Rabithah al- Alawiyyah.
Perjalanan dakwahnya kemudian berlanjut ke Celebes, tepatnya di Palu, Sulawesi Tengah. Di sana ia dihadapkan pada gencarnya gerakan misionaris dan Kristenisasi.
Dia prihatin. Sulawesi yang dulu punya sejarah sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia Timur, perlahan digerogoti oleh gerakan misionaris.
Habib Idrus merasa terpanggil untuk membendung gerakan itu. Namun, ia sadar tak mungkin melawan gerakan misionaris yang didukung penjajah yang menguasai wilayah tersebut dengan perlawanan fisik. Dia pun mempunyai ide untuk mengimbangi gerakan misionaris tersebut.
Bukan jalur kekerasan yang dipilihnya untuk menegakkan Islam di bumi Celebes, melainkan melalui jalur pendidikan.
Dengan nekad dan biaya sendiri, ia mendirikan sebuah madrasah yang lantas diberi nama Alkhairaat, bentuk jamak dari kata khairun yang berarti kebaikan.
Semangat optimisme terpancar saat ia memberikan nama madrasah tersebut, yang resmi berdiri pada 11 Juni 1930.
Lembaga pendidikan Islam ini menjadi sarana dakwah Islam yang terbukti efektif di wilayah tersebut. Ia menjadi benteng pertahanan dari gempuran para misionaris yang semakin gencar dengan Kristenisasi.
Perjuangan dakwahnya pun semakin berkembang. Tak hanya di Palu, ia mengembangkan sayap dakwahnya ke pulau-pulau lain di sekitarnya, bahkan hingga Maluku.
Dengan menggunakan sampan, atau sering kali berjalan kaki hingga jauh sekali, ia hadapi risiko dan ancaman yang menantangnya.
Ia rela memberikan apa saja, termasuk jiwanya, demi terbitnya cahaya dakwah Islam di tengah gempuran misionaris di kawasan timur Indonesia.
Hingga akhir hayat, ia terus berdakwah dan mengajar di madrasah-madrasah yang didirikannya. Pada 12 Syawal 1389 H atau tahun 1969 M, ia pun mengembuskan napas terakhirnya.
Meski ia telah tiada, namun jejak perjuangannya masih tetap bertahan, bahkan terus berkembang. Tercatat sebanyak 1.550 madrasah dan sekolah serta 36 pondok pesantren Alkhairaat di seantero Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua.