Sabtu 22 Feb 2014 15:51 WIB

Jalan Panjang Lembaga Dakwah Kampus (1)

Mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Ulul Albab Universitas Wiralodra, Indramayu, Jawa Barat sambut Ramadhan dengan membagikan bunga di jalan (ilustrasi).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Ulul Albab Universitas Wiralodra, Indramayu, Jawa Barat sambut Ramadhan dengan membagikan bunga di jalan (ilustrasi).

Oleh: Afriza Hanifa

Generasi awal berada di ITB, UI, IPB, dan UGM.

Lembaga Dakwah Kampus atau LDK saat ini menjamur di setiap kampus di seluruh penjuru Tanah Air. Dengan nama yang beragam, lembaga tersebut menjadi organisasi intrakampus yang menjadikan dakwah Islam sebagai tujuan mereka. Masjid kampus yang selalu dijadikan markas besar mereka.

Jika menelusuri sejarahnya, perjalanan terbentuknya LDK cukup panjang. Meski menyatakan fokus dalam hal dakwah, sebetulnya LDK lahir dari kegiatan politik. Berawal dari partai politik Islam Masyumi, LDK terbentuk dan terus berkembang hingga kini.

Sejarah Masyumi tentu amat panjang. Singkat cerita, partai ini mengalami kemunduran politik di era Presiden Soeharto. Apalagi, rezim Orde Baru ternyata tak mengizinkan Masyumi untuk hidup kembali. Masyumi yang telah lama retak kemudian benar-benar meredup.

Awal perpecahan di tubuh Masyumi sebenarnya telah terjadi ketika komposisi pemimpin partai didominasi para tokoh modernis dan reformis. Karakter mereka sangat berbeda dengan ulama tradisional yang kemudian hanya mendapat sedikit ruang kepemimpinan. Komposisi pengurus besar Masyumi banyak diisi oleh para intelektual modernis, di antaranya, Mohammad Natsir dan Mohammad Roem.

Setelah menghadapi kenyataan bahwa Masyumi telah runtuh, para tokoh jebolan Masyumi masih aktif dalam menyuarakan Islam. Hingga, kemudian mereka jenuh dengan dunia perpolitikan yang pasang surut. Bidang dakwah Islam mereka pilih untuk terus berkiprah membangun bangsa. Pada 1967, para pemimpin Masyumi menggelar pertemuan.

Pertemuan tersebut berusaha mencari tahu alasan-alasan dibalik lemahnya Islam dalam politik. Mereka pun menyimpulkan tiga hal, yakni partai Islam tidak cukup mendapat dukungan dari umat di negeri ini, para pemimpin Islam tidak memiliki visi dan misi bersama dalam perjuangan politik mereka, dan jumlah umat Muslim di Indonesia secara statistik memang besar, tetapi secara kualitatif kecil.

 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pertemuan kemudian merekomendasikan pentingnya pendirian sebuah lembaga dakwah khusus yang berorientasi pada pelaksanaan dakwah Islam secara lebih luas dan komprehensif.

Lembaga tersebut kemudian diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang resmi berdiri pada Mei 1967. Dewan pengurus pertama oraganisasi ini dipimpin oleh Mohammad Natsir dan HM Rasjidi serta didukung tokoh-tokoh terkemuka Masyumi dan ulama reformis-modernis.

Menurut Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, DDII kemudian memposisikan dirinya sebagai sumber utama dan agen konsultasi bagi dakwah Islam yang efektif di masyarakat modern.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement