Kamis 20 Feb 2014 10:59 WIB

Jejak 'Negara' Jawa (2-habis)

Peta Jawa kuno.
Foto: Basicbali.net
Peta Jawa kuno.

Oleh: Afriza Hanifa

Pascamangkatnya Panembahan Senapati ing Alaga, putranya dari selir putri asal Pati, Raden Jolang, kemudian naik takhta.

Pada masa pemerintahannya pada 1601 sampai 1613, Raden Jolang menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede.

Kemudian penerus selanjutnya, yakni cucu Senapati ing Alaga, yakni RM Jatmiko atau Pangeran Rangsang, menjadi titik balik Kesultanan Mataram. Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga atau lebih dikenal dengan Sultan Agung, membawa kesultanan ke puncak kejayaan.

Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645. Pada waktu itu wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

“Sebelum VOC menganeksasi wilayah negara Mataram sampai abad ke-17, seluruh kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah besar yang berkedudukan di keraton sebagai pusatnya. Istana dan keraton raja disebut sebagai 'Kutanegara' atau 'Kutagara' yang terletak di ibu kota negara,” ujar Marwati dan Nugroho dalam buku yang sama, namun seri keempat, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.

 

Kemunduran

Pascakepemimpinan Sultan Agung, kerajaan mengalami kemunduran. Berangsur-angsur wilayah kekuasaan makin menyempit. Hal tersebut, menurut Marwati dan Nugraho, akibat aneksasi yang dilakukan oleh VOC, sebagai imbalan intervensinya dalam pertentangan-pertentangan intern.

Pada masa pemerintahan pengganti Sultan Agung, yakni putranya yang bernama Amangkurat atau yang sering disebut dengan Amangkurat I, banyak terjadi pemberontakan. Sang sultan juga dekat dengan VOC, akibatnya kekuasan politik Mataram saat itu benar-benar tergoncang.

Salah satu  yang terkenal saat itu dipimpin Trunojoyo. Pemberontakan tersebut membuat Amangkurat I melarikan diri hingga kemudian wafat. Sebelum wafat, ia sempat mengangkat Adipati Anom atau Sunan Amangkurat II sebagai penerusnya.

Namun, sang penerus tak mampu memulihkan kejayaan Mataram. “Sejak pemerintahan, baik Sunan Amangkurat I maupun Sunan Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti tahun 1755 terus menerus mengalami penurunan pengaruh politik VOC,” ujar Marwati dan Nugraha.

Setelah Perang Trunojoyo berkhir pada 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian Priangan dan Semarang. Demikian pula setelah perlawanan Untung Surapati dipadamkan pada 1705, daerah Cirebon, sisa Priangan, dan separuh bagian timur Pulau Madura dianeksasi Belanda.

Selanjutnya, setelah Perang Cina berakhir pada 1743, seluruh daerah Pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura sudah dikuasai Belanda. Wilayah negara makin sempit dengan berakhirnya Perang Giyanti pada 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement