Oleh: Afriza Hanifa
Perjuangan melalui dakwah mempunyai dampak yang lebih panjang dan lebih lestari.
Ustaz Heri Syahmuda Sitorus tampak asyik dikelilingi penduduk desa Makalau di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Garis keletihan di wajahnya seakan sirna tertutup semangat dakwah yang menggebu.
Bersama sang istri, sang ustaz rela hidup dalam kesulitan dan keterasingan. Untuk kebutuhan air, ia menampung dari tetesan hujan. Untuk memasak, ia mengumpulkan kayu bakar. Pun untuk listrik, ia harus mencari aki ke kota.
Tapi, apalah artinya kesulitan itu bagi Heri asalkan ia dapat menyampaikan dakwah Islam kepada warga Mentawai. Di pedalaman lain, tak terhitung Heri Heri lain yang rela hati mengorbankan segalanya bagi dakwah. Mereka merupakan para dai yang dikirim Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam program dai pedalaman.
Sejak berdiri pada 1967, DDII atau yang juga dikenal dengan Dewan Dakwah ini mengambil banyak peran dalam dakwah nusantara. Ketika ormas Islam lain belum tampak taringnya, DDII telah mengirim banyak dai ke pedesaan, ke kawasan terpencil dari Sabang sampai Merauke.
Merekalah pelopor dakwah di Indonesia. Hingga kini, mereka pun masih melakukan hal sama dan mengambil peran yang sama, sebagai juru dakwah.
Awal mula berdirinya DDII tak luput dari sejarah Masyumi. Ketika partai politik Islam terbesar itu mulai rontok, para tokohnya enggan berhenti berjuang untuk Islam. Maka, berakhirnya Masyumi justru bukan hari akhir bagi perjuangan Islam.
Justru dari kematian Masyumi itulah lahir era baru dalam perkembangan Islam di Indonesia, yakni era dakwah. Mohammad Natsirlah cendekiawan Muslim yang memimpin mereka.
Thohir Lut dalam bukunya M Natsir, Dakwah dan Pemikirannya menuturkan, sungguh pun Masyumi telah dibubarkan oleh kekuasaan Sukarno, para tokohnya masih berusaha dan berharap pada era Orde Baru partai mereka mampu bangkit dan dapat berkiprah kembali dalam dunia politik.
Usaha untuk menghidupkan kembali Masyumi pada masa pemerintahan Soeharto kemudian dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun, melihat konstelasi politik saat itu, M Natsir akhirnya mencari jalan lain dan strategi baru.
“Jelaslah parpol tak bisa. Akan tetapi, perjuangan Islam tak boleh berhenti. Demikian kata Radjab Ranggosali, seorang tokoh Masyumi yang dekat dengan M Natsir, mencoba menyarikan strategi yang ditempuh M Natsir,” ujar Thohir.