REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah
RUU ini tergantung Kemenag sebagai pihak yang berwenang.
JAKARTA — Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar menanggapi dingin usulan adanya badan khusus haji yang memiliki kewenangan mengelola haji.
“Membuat badan baru untuk mengelola haji itu butuh kajian mendalam, bukan hanya sekadar ada usul kemudian disepakati saja,” katanya kepada Republika, Senin (17/2).
Wamenag mengungkapkan, secara pribadi ia tidak mendukung atau menolak adanya usulan badan khusus haji tersebut.
Namun, ia ingin mengingatkan untuk memperbaiki pengelolaan bukan berarti harus membuat badan atau lembaga baru. Sedangkan, ia melanjutkan, tidak ada yang tahu bagaimana kesiapan badan tersebut mengelola haji.
“Kita jangan gampang memandang masalah hanya karena belum sempurnanya pengelolaan haji di Kemenag, kemudian menyimpulkan perlu badan khusus haji di luar Kementerian Agama,” katanya menjelaskan.
Nasaruddin Umar menegaskan ada baiknya beberapa pihak tidak gegabah dahulu memaksakan badan khusus haji tersebut.
Ia mempertanyakan, siapa yang bisa menjamin pengelolaan haji akan lebih baik ketika dikelola oleh badan baru yang khusus mengelola haji tersebut.
Menurutnya, sudah banyak contoh badan yang dipisahkan dari kementerian, sementara pengelolaannya cenderung tidak lebih baik. “Jadi, tidak ada jaminan.”
Untuk itu, menurut Nasaruddin, ada baiknya institusi yang ada saat ini di Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah agar lebih disempurnakan pengelolaan dan pengawasannya. Menurutnya, saat ini pengelolaan haji sudah semakin baik serta banyak perubahan besar dari tahun ke tahun.
Walaupun ada beberapa indikasi temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK), menurut Wamenag, seharusnya ini menjadi entri poin perbaikan pengelolaan haji. “Bukan malah merombak tatanan institusinya,” ujarnya. Karenanya, ia mengingatkan harus hati-hati atas usul ini.
Nasaruddin melihat ide memisahkan kewenangan dan tanggung jawab Kemenag itu sangat berbahaya. Menurutnya, bisa jadi memang ada pihak yang ingin Kemenag semakin tidak memiliki perannya.
Terutama, terlihat setelah hakim agama di pengadilan agama dipegang Mahkamah Agung. “Kalau seperti ini, yang dirugikan umat,” katanya tegas.
Ia pun meminta beberapa pihak tidak selalu membanding-bandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia yang dipandang sudah baik dalam pengelolaan haji.
Karena pembanding itu, menurutnya, tidak sebanding ketika penduduk dan jamaah haji Malaysia hanya sebagian kecil dari Indonesia. Padahal di sisi lain, banyak negara lain melakukan studi pengelolaan haji ke Indonesia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan, belum jelasnya sikap Kemenag sebagai institusi menyebabkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Haji dan Umrah belum tentu bisa berjalan dengan baik.
“Ini tergantung Kemenag sebagai pihak yang memiliki kewenangan,” ujar Ledia Hanifa Amaliah saat dihubungi Republika, Senin (17/2).
Dalam kajian Komisi VIII, draf RUU Pengelolaan Keuangan Haji telah digabung ke dalam RUU Penyelenggara Haji dan Umrah. Kedua RUU tersebut memuat isi yang hampir sama, termasuk usulan memisahkan hak pengelolaan dana haji dari Kemenag kepada sebuah badan khusus haji.
Menurutnya, kalaupun RUU tersebut disahkan di paripurna sebagai RUU inisiatif DPR, rancangan beleid itu masih harus dikirim ke presiden, lalu dibahas DPR bersama kementerian terkait.
“Di situlah mungkin hambatan yang akan ada,” kata Ledia. Meski begitu, pihaknya berharap proses itu lancar sehingga undang-undang ini bisa disahkan pada 2014 dan badan khusus haji sudah bisa hadir tahun depan.
Ia mengungkapkan, Komisi VIII telah meminta masukan dari Kemenkeu terkait pengelolaan keuangan haji tersebut ke badan khusus haji. “Kemenkeu sepakat badan khusus itu,” ujarnya.
Kemenkeu, kata Ledia, bahkan sudah merekomendasikan jika seharusnya pemerintah tidak mengelola dana masyarakat yang memunculkan bagi hasil seperti dana haji.
“Diskusi itu sudah kita lakukan dan hampir semua setuju, jadi tergantung dari Kemenag apakah setuju hal tersebut,” ujarnya.
Menurut Ledia, pemerintah atau kementerian hanya memiliki sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semata, bukan bersumber dari dana masyarakat.