Sabtu 15 Feb 2014 16:17 WIB

Apakah Musafir Wajib Shalat Jumat? (2-habis)

Shalat Jumat di Masjid Lautze, Jakarta.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Shalat Jumat di Masjid Lautze, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh.

Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat.

Itu pun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk maksiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.

Bolehnya meninggalkan shalat Jumat oleh musafir ini dalam wacana fikih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya uzur. Bepergian menjadi uzur seseorang untuk menjalankan shalat Jumat karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat tiba.

Akan tetapi keringanan—rukhshah—Ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berubah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari.

Misalkan jika seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian –rukhsah al-safar.

Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, jamak atau qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari.

Contohnya, ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kaca mata fikih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jumat bila tiba waktunya.  

Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.

Oleh karena itu, untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qashr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk maksiat.

Ketiga, mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui—1 semester, 2 tahun, dan seterusnya—ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti.

Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab; Al-Madzahibul Arbaah, Al-Hawasyiy al-Madaniyah dan Al-Fiqhul Islami).

sumber : NU.or.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement