REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Muslimah Prancis belum leluasa mempraktikan keyakinannya. Ini bisa dilihat dari intensitas kasus terkait hijab. Mulai dari pelecehan hingga tingkat yang paling ekstrim, pemecatan.
Di Virbac, sebuah perusahaan daur ulang melarang penggunaan atribut keagamaan ketika bekerja. Ini termasuk penggunaan hijab. Yang memprihatinkan, kebijakan itu berlaku untuk seluruh agama.
Soal itu, CEO Virbac Jean Luc mengatakan aturan ini diberlakukan dengan menyesuaikan hukum sekular Prancis. "Saya menerapkan kebijakan ini sesuai dengan apa yang diterapkan pada kebijakan publik. Hanya saja, saya menerapkannya pada sebuah perusahaan," ucap dia seperti dilansir The Local France, Kamis (13/2).
Jean memastikan kebijakan ini akan terus dipertahankan sampai pengadilan berkata lain. "Saya siap ambil resiko tersebut," ucap dia.
Direktur Observatorium Prancis, Profesor Raphael Liogier mengatakan tindakan Virbac merupakan hal ilegal. Ini mengacu pada Undang-undang (UU) 2004 yang mengatakan adanya perlindungan terhadap anak-anak yang masih terlalu muda untuk menentukan apa agama mereka.
"Namun, mereka (Virbac) tidak melihat itu, sehingga ini masuk pada kategori ilegal."Mereka tidak bisa melakukannya. Minimal, hanya ada batasan pakaian apa yang tidak bisa digunakan bukan membatasi apa yang mereka kenakan," kata dia.
Liogier memprediksi apabila aturan itu diberlakukan maka tinggal menunggu waktu ada langkah serupa yang diterapkan. "Jalan kesana memang berat, karena Dewan Konstitusi tidak akan menerima itu. Karena, mereka harus mengubah konstitusi Prancis," ucapnya.
Masalah simbol agama memang menjadi bahasan sengit di Prancis. Pada era Sarkozy, umat Islam ditekan dari berbagai sisi. Penggunaan simbol agama merupakan salah satunya. Secercah harapan muncul ketika Francois Hollande menjabat presiden. Tapi itu tidak lama, bahasan larang jilbab kemballi berlanjut.