Kamis 13 Feb 2014 15:25 WIB

Memenuhi Janji dengan Sepotong Kayu (1)

Ilustrasi
Foto: Freebigpictures.com
Ilustrasi

Oleh: Afriza Hanifa

Pada zaman dahulu, sebelum era keislaman, hidup seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji.

Suatu hari, si pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah uang kepada seseorang yang ia kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut.

“Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan!” ujar si peminjam uang. “Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.

“Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin,” pinta si peminjam lagi. Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin.

Ia hanya bisa berucap, “Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda. Akan tetapi, baginya menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka.

Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau benar,” katanya. Ia pun kemudian memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda. Keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.

Pergilah si pemuda mengarungi samudra untuk memenuhi kebutuhannya dengan uang pinjaman. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke pulau si peminjam tinggal.

Namun apa daya, tak ada layanan perahu menuju tempat si peminjam. Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia. Namun, entah mengapa hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda itu. Ia tak mau melanggar kesepakatan dan janji utangnya.

Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya. Ia pun mengambil sepotong kayu, kemudian melubanginya.

Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan pada lubang kayu itu.

Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar. Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’. Ia pun rida dengan-Mu.”

“Ia juga meminta saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun ridha kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu,” ujar si pemuda bertawakal.

Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun, meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, tempat si peminjam tinggal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement