REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Jumlah umat Islam mencapai 20 persen dari sekitar 630 ribu warga Montenegro.
Montenegro adalah nama sebuah negara yang terletak di Eropa, tepatnya berada di Eropa Selatan, di Semenanjung Balkan yang berbatasan langsung dengan Laut Adriatik.
Di negara yang beribu kota di Podgorica ini, Islam semakin tumbuh dan pembangunan fasilitas untuk Muslim pun terus dikembangkan.
Islam menjadi agama terbesar kedua yang dipeluk oleh penduduknya. Islam menorehkan sejarah yang panjang di negara ini. Islam sendiri datang ke wilayah Balkan ini sejak 1389 ketika berada di bawah kekuasaan Turki Ottoman.
Pada abad ke-15, Raja Ivan Crnojevic berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Montenegro dan mengenalkan Islam di wilayah ini.
Anak ketiganya, yaitu Stanisa Crnojevic, kemudian didaulat untuk memimpin wilayah ini. Dialah pemimpin pertama wilayah ini yang Muslim dan sejak itu Islam menjadi negara yang semakin bertumbuh saat dinasti ini berkuasa.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Stanisa mengganti namanya menjadi Skenderbeg Crnojevic dan memusatkan pemerintahannya di Cetinje.
Di bawah pemerintahannya, wilayah ini semakin maju dan ia tampil menjadi seorang pemimpin Muslim yang sangat menonjol di bagian utara wilayah kekaisaran Ottoman saat berada dalam pimpinan Sultan Selim I.
Skenderbeg Crnojevic mempunyai tentara sebanyak 3.000 orang dan selalu sukses membina hubungan baik dengan wilayah negara tetangganya.
Sejarah terus mencatat daerah ini kemudian terus menjadi wilayah perebutan antarpenguasa yang membuat banyak konflik kerap terjadi. Pada 1704, terjadi sebuah peristiwa yang menyayat hati.
Saat itu, warga Kristen Montenegro melakukan pembantaian besar-besaran pada orang-orang Muslim. Peristiwa yang dilakukan pada malam Natal tersebut dikenal dengan nama Inquisition of the Turks.
Saat Uni Soviet masih jaya, Montenegro menjadi bagian wilayah satelitnya, yaitu Yugoslavia. Sejak akhir perang dunia kedua, karena dikungkung oleh rezim komunis, membuat umat Islam di sini tak bisa bebas menunjukkan identitasnya.
Runtuhnya komunis pada akhir 1988 membuat Uni Soviet pun terpecah. Yugoslavia kemudian terpecah menjadi enam negara, yaitu Serbia, Kroasia, Bosnia, Makedonia, Slovenia, dan Montenegro.
Muslim Montenegro kini sebagian besar terdiri atas orang Bosnia, Albania, dan penduduk asli Montenegro yang telah masuk Islam. Sebagian besar mereka tinggal di wilayah Ulcinj dan Podgorica.
Di Montenegro sendiri telah ditetapkan 13 Dewan Masyarakat Islam, yaitu Podgorica, Tuzi, Dinosa, Bar, Ostros, Ulcinj, Pljevlja, Bijelo Polje, Berane, Petnjica, Rozaje, Plav, dan Gusinje.
Imam dari Masyarakat Islam di utara Kota Bijelo Polje, Enis Burxheviq, mengatakan Muslim di sini memiliki peranan penting dalam proses kemerdekaan Montenegro sebab mayoritas memilih untuk berpisah dari Serbia dalam referendum pada 2006. “Sejak kemerdekaan itulah, pemerintah pun terus membina hubungan baik dengan mereka,” katanya.
Pertumbuhan Muslim semakin meningkat akhir-akhir ini di Montenegro. Jumlahnya sendiri kini bisa mencakup 20 persen dari sekitar 630 ribu total populasi negara tersebut.
Menurut Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Ulama Montenegro Omar Halil Kajshaj, negara ini sedang giat-giatnya membangun fasilitas untuk umat Islam. Kini, banyak masjid dibangun, juga sekolah Muslim.
Dewan Ulama berhasil membangun sebuah masjid raya di jantung Kota Ulcinj dan mendirikan sekolah Muslim pertama tingkat sekolah menengah pertama di ibu kota Podgorica.
“Ini semua untuk memenuhi kebutuhan karena makin meningkatnya jumlah Muslim di negara ini,” katanya, dilansir dari onislam.
Di Ulcinj sendiri, sudah ada sekitar 26 masjid yang ada di kota hingga ke desa-desa. Kini, masjid-masjid bersejarah yang pernah hancur mulai dibangun kembali.
Salah satunya adalah Masjid Sailor yang terletak di pesisir Ulcinj di lepas pantai Laut Adriatik. “Ini merupakan bagian dari upaya kami untuk terus menjaga identitas Muslim di Montenegro,” katanya.
Masjid tersebut sebenarnya pernah dibangun oleh para pelaut Arab pada abad ke-14, lalu diluluhlantakkan oleh Pemerintah Serbia pada 1931. Pada tahun-tahun tersebut, segala macam hal yang bernuansa Islam dilarang dan harus dimusnahkan.
Untuk itu, pemerintah berupaya untuk membangun masjid itu kembali sesuai dengan desain dan arsitektur aslinya. “Masjid tersebut mampu menampung seribu jamaah,” jelasnya.