REPUBLIKA.CO.ID, Pada masyarakat yang masih bersifat tribal, bisa saja figur pemimpin dikaitkan dengan kriteria berani, tegas, dan andal dalam berperang. Dengan ukuran seperti itu maka komunitas sukunya mendapatkan perlindungan yang sempurna dari pemimpinnya. Seiring waktu, ukuran ideal bagi pemimpin pun bisa beralih rupa.
Akan tetapi, ada satu hal yang pasti dan abadi dalam memilih kriteria pemimpin di sepanjang masa. Ukuran itu berkait dengan urusan moral. Salah satu sifat moralitas kepemimpinan, yaitu amanah.
Inilah sikap yang tak dapat disangkal menjadi keinginan abadi dari setiap masyarakat dari dulu hingga kini dan masa yang akan datang. Betapa pun masyarakat di suatu zaman menginginkan sosok pemimpin yang berani, tetapi sesungguhnya di dalamnya melekat niscaya terwujudnya akhlak yang luhur, seperti sikap amanah. Urusan akhlak tak akan lekang oleh waktu.
Dalam sejarah banyak diwartakan, betapa banyak suatu kaum yang hancur karena kepemimpinan yang bobrok secara akhlak. Persia, Roma, hingga dinasti-dinasti Islam mengalami kemerosotan yang tragis hingga rontok berkeping-keping oleh karena akibat kerusakan moral yang sangat kronis.
Nah, bila sekarang muncul kerinduan untuk menampilkan kembali sosok pemimpin yang amanah, tentu saja hal ini selaras dengan fitrah kemanusiaan. Ini jangan semata dipahami sebagai “kebutuhan kondisional”. Bila terpaku pada kebutuhan, justru dikhawatirkan, kita yang hidup di dunia modern ini menjadi “lupa daratan” terhadap hal ihwal terkait urusan akhlak.
Kita hanya terhipnosis oleh masalah manajemen kepemimpinan yang canggih-canggih bahwa urusan kepemimpinan hanya disempitkan dengan urusan otak. Soal moral tidak dianggap penting karena tidak menyangkut hal-hal yang “masuk akal”. Kita menjadi lebay. Kita mengabaikan ukuran yang sesungguhnya sangat fundamental dalam kepemimpinan. Padahal, soal akhlak jelas-jelas tidak dapat diukur sesuai dengan situasi atau kebutuhan.