Jumat 07 Feb 2014 01:58 WIB

Penguatan Riset Iptek Kunci Kembalikan Kekuatan Islam

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Julkifli Marbun
Lomba Sains (ilustrasi)
Foto: hhmi.org
Lomba Sains (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memiliki potensi besar, sumber daya manusia, dan nilai Islam itu sendiri. Universitas Islam sebagai pencetak cendikia Muslim, bisa mengembalikan kekuatan Islam melalui terobosan-terobosan baru.

Dalam seminar internasional 'Peran Universitas Islam dan Kebangkitan Dunia Islam', Kamis (6/2), Din Syamsuddin mengungkapkan universitas Islam sangat mungkin mengembalikan kejayaan Islam. Dunia Islam punya kekuatan potensial dari jumlah sumber daya manusia yang 1,7 miliar, sumber daya alam yang kaya termasuk barang tambang kebutuhan dunia, nilai Islam sendiri, dan sejarah kejayaan.

Jadi Islam miliki pengalaman memegang supremasi dunia. Sekarang, kawasan pertumbuhan mulai bergeser dari barat ke Asia Pasifik.

Ada kesenjangan yang membuat potensi itu belum membuat Islam kembali mencuat, salah satunya adalah kurangnya penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Itu adalah kekuatan pendorong kemajuan. Hadits dan sejarah kita membuktikan itu, kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu," kata Din.

Rektor Universitas Islam Omdurman Sudan Profesor Hasan Abbas Hasan mengatakan universitas harusnya menjadi mesin perubahan melalui edukasi dan riset saintifik. Diakuinya, universitas Islam masih kurang dalam hal riset.

Riset sains yang kontinu menjadi kekuatan tersendiri. "Sayang sekali jika banyak pengusaha kaya, tapi negara kurang dana riset," kata dia.

Universitas juga harusnya menghasilkan luluskan yang bisa berkontribusi untuk kembangkan komunitasnya, termasuk dalam edukasi anak-anak di daerah kurang berkembang. Jadi tak hanya kirim guru, tapi juga tenaga lain dari universitas.

Kurikulum harus didesain agar mahasiswa lebih kritis tak hanya menghafal sehingga pemikirannya tidak berkembang. "Dari orang yang kritis, kita akan punya banyak orang kreatif menciptakan karya," kata Hasan.

Hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah etika kerja profesional. Jepang dan Korea lebih profesional. Padahal kita memiliki Alquran yang memerintahkan kita untuk sungguh-sungguh dalam bekerja.

Sementara itu, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan perkembangan pendidikan harus didukung kestabilan politik, perbaikan ekonomi, dan kerja sama. Sayang, masih ada universitas Islam yang berorientasi pada profit semata.

"Kita perlu memperbaiki peran universitas kemajuan bangsa. Kita punya potensinya dan itu harus didukung kondisi lingkungan," kata Azyumardi.

Pertama-tama adalah memperbaiki stabilitas bangsa. Saat ini negeri Islam menghadapi Aran Spring yang sebenarnya adalah permainan hidup mati konflik internal. Negara butuh sikap kompromi dan akomodatif atas berbagai aliran dalam Islam sebab konflik ini membuat semua pihak kalah.

"Tanpa keamanan kita tak bisa beraktivitas. Padahal semua aktivitas kita adalah ibadah," kata dia.

Perbaikan ekonomi juga jadi hal penting. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan dalam 10 tahun terakhir ini. Tapi itu saja tidak cukup, tanpa pemerataan.

Kejayaan masa lalu Islam juga jangan justru membuat kita terjebak pada romantisme masa lalu. Bahkan ada yang meniru masa lalu dengan sama persis tanpa mempertimbangkan perkembangan situasi kekinian.

"Apa yang bagus di masa lalu, itu diambil. Yang pahit, jadikan pelajaran," ungkapnya.

Tokoh Muslimah Indonesia, Tutty Alawiyah mengungkapkan kemajuan bangsa tak bisa dilepaskan dari kemajuan perguruan tingginya. Harus diakui, universitas Islam belum mempunyai budaya riset yang kuat.

Perguruan tinggi Indonesia bahkan belum masuk dalam 500 universitas dunia. Harus diakui kita tertinggal karena universitas sebatas pengajaran. Jepang, Korea, dan Cina sangat bagus dukungan dan risetnya.

Ia memesankan tiga hal guna menguatkan peran universitas Islam dalam kemajuan bangsa. Pertama, penguatan riset dosen dan mahasiswa dengan mengubah cara dari mencari ilmu jadi mencipta yang baru. Penelitian kini diusulkan menjadi dharma pertama perguruan tinggi.

Ke dua, pengerucutan visi dosen,  membangun ilmu dan membangun karakter. "Perguruan tinggi kini ditantang  berinovasi untuk memajukan ekonomi, 'ekonomi berbasis keilmuan'. Tapi harus hati-hati, jangan sampai jatuh pada komesialisasi pendidikan," tutur Tutty.

Universitas, lanjut Tutty, harus bebas dari tekanan ekonomi dan politik dengan tetap memperhatikan kebermanfaatan bagi masyarakat.

Ke tiga, perguruan tinggi Islam harus mempunyai karakter khusus sebagai keunggulan, yakni karakter Islam. Malaysia, Korea dan Spore maju karena membangun karakter yang juga diiringi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement