REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu'alaikum wr wb.
Bagaimana hukumnya pernikahan yang dilakukan setelah pengantinnya hamil? Apakah anak yang dilahirkan berhak menggunakan nama suami ibunya? Ada yang mengatakan nikahnya tidak sah karena dilakukan pada kondisi tidak suci, sehingga dianjurkan dinikahkan lagi.
Wassalamualaikum,
Anita, Jakarta
Jawaban:
Perkawinan yang didahului oleh kehamilan dinilai sah oleh banyak ulama, walaupun memang ada ulama yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal.
Dengan kata lain, perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian menikahinya dengan sah, seperti keadaan seorang yang mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya.
Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram, sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi'i dan Abu Hanifah. Sedang Imam Malik menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah yang baru, setelah selesai iddah dari hubungan seks yang tidak sah itu.
Memang kalau ingin lebih tenang, sehingga dipandang sah juga oleh penganut mazhab Maliki, tidak ada salahnya melakukan nikah ulang, dengan memanggil dua orang saksi, wali wanita serta siapa saja yang bertindak sebagai penghulu. Anak yang lahir itu -- jika diakui oleh suami wanita tadi, maka dia dapat menyandang nama sang suami. Demikian, Wa Allah A'lam.