REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR M Masri Muadz MSc
(Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)
Kendati tidak memenuhi syarat, Malaikat sepertinya menganggap dirinya lebih pantas menjadi khalifah ketimbang manusia. Begitulah kesan yang dapat kita tangkap dari QS Al-Baqarah (2): 30-33 ini.
“Saat Allah SWT berfirman kepada para Malaikat bahwa Dia akan menjadikan Adam sebagai khalifah-Nya di bumi. Spontan para malaikat bertanya kepada-Nya”.
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi dari orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.
“Kemudian Allah SWT mengajarkan nabi Adam AS tentang nama-nama makhluk alam semesta. Lalu Dia berfirman kepada para malaikat: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang menyampaikan argumentasi yang benar!.”
“Para malaikat menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Kemudian Allah SWT berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama alam semesta ini.”
Maka setelah Adam mengajarkan para malaikat nama-nama itu, Allah SWT berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Malaikat boleh saja mempertanyakan kekhalifahan manusia. Namun Allah memiliki skenario-Nya sendiri. Gran skenario Allah tentang seluruh kehidupan, adalah bahwa Al-Qur’an, manusia dan alam, telah diciptakan-Nya dengan peranan yang jelas. Manusia sebagai khalifah, bumi sebagai pendukung kekhalifahan dan Al-Quran sebagai pedoman kekhalifahan.
Maka informasi tentang kekhalifahan manusia, dijelaskan Al-Qur’an dalam lima konteks.
Pertama, deklarasi (pelantikan) manusia sebagai khalifah: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [QS Al-Baqarah (2): 30].
Kedua, perjalanan kehidupan atas nama Allah SWT. Seperti perintah-Nya untuk selalu memulai semua kegiatan dengan mengucapkan “Bismillah Al-Rahman Al-Rahim”[QS Al-Fatihah (1):1].
Ketiga, pokok-pokok tugas khalifahan: “‘Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari Jalan Allah.” [QS Shaad (38): 26].
Keempat, hidup sebagai ujian bagi manusia: ‘Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu.’ [QS Al An'am (6):165].
Kelima, keniscayaan pembelajaran manusia: “Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya...” [QS Al Baqarah (2):31]. Dan kemudian Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah (ajarkan) kepada mereka (para Malaikat) nama-nama benda ini” [QS AlBaqarah (2):32].
Berdasarkan lima konteks firman Allah SWT ini, maka ujuan kekhalifahan manusia adalah melakukan (meneladani) dan mengajak sesama untuk:
Satu: Menjalani hidup atas nama Allah
Dua: Memposisikan kehidupan sebagai ujian dari Allah
Tiga: Bersikap dan berperilaku adil
Empat: Mengendalikan hawa nafsu, dan
Lima: Belajar dan mengajar.
Maka, kendati Malaikat mengincar jabatan kekhalifahan di bumi, akan tetapi tidak satupun dari 5 tujuan kekhalifahan ini yang dapat dijalankan oleh Malaikat.
Menjalani hidup atas nama Allah, berarti tujuan dan cara kita menempuh hidup, haruslah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah yang kita wakili, Yaitu petunjuk Al-Quran yang difirmankan melalui Rasulullah. (Malaikat hidup atas perintah Allah).
Memposisikan kehidupan sebagai ujian dari Allah, berarti bahwa cetak biru kehidupan adalah ujian bagi manusia. Sehingga, bagi kita dalam seluruh konteks kehidupan hanya ada dua pilihan. Memilih kebajikan atau memilih kemungkaran. (Malaikat hidup secara default).
Bersikap dan berperilaku adil, berarti menjalani hidup dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Sehingga melawan keadilan dan berbuat tidak seimbang, berarti menjerumuskan diri ke dalam jurang kehancuran. (Malaikat hidup hanya untuk berdzikir, bertasbih dan sujud kehadapan Allah).
Mengendalikan hawa nafsu, berarti berjuang melawan tantangan hidup berupa haw nafus, godaan syaitan dan arogansi diri. Karena tiga faktor laten ini, akan selalu menggoda untuk pilihan kemungkaran dan menjauhkan kita dari pilihan kebajikan. (Malaikat tidak memiliki hawa nafsu, tidak digoda syatan dan tidak memiliki arogansi).
Dan belajar dan mengajar, berarti untuk keberhasilan tugas kita sebagai khalifah, maka menyadari, mengetahui dan memahami hidayah Allah SWT yang terdapat pada sistem Al-quran, sosial dan alam adalah keniscayaan. Melalui belajar untuk diri, dan mengajar, untuk orang lain. (Belajar mengajar tidak menjadi kebutuhan Malaikat).
Sehingga, tugas kekhalifahan itu, sesuai dengan desain Allah, hanya diamanahkan pada manusia, bukan pada Malaikat. Kendati Malaikat menginginkannya.
Maka, tugas kekhalifahan itu (haruslah) melekat pada setiap diri kita dan (mestinya) terdapat pada semua yang kita perbuat. Seperti tercermin pada makna ucapan setiap kita memulai gerak dalam kehidupan kita: Bismillahirrohmanirrohim. “Atas nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang saya (diri) memulai ...(perbuatan) ini.”
Maka mari kita jadikan Basmalah sebagai ‘Password’ dari tugas-tugas kekhalifahan kita. Semoga.
Allahu ‘alamu bishshawab.