Senin 13 Jan 2014 00:02 WIB

Citra Islami di Indonesia Memudar?

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) dan Wakil Presiden Boediono menunaikan shalat ied di Masjid Istiqlal Jakarta (ilustrasi)
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) dan Wakil Presiden Boediono menunaikan shalat ied di Masjid Istiqlal Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nazil Muhsinin*

Kota-kota di Indonesia semakin mencitrakan diri sebagai kota industri yang modern, sejak supermarket dan swalayan sebagai pusat perbelanjaan modern banyak dibuka pada akhir dasawarsa 80-an.

Munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern tersebut harus diakui sebagai implikasi dari perkembangan berbagai macam industri yang ada di Indonesia maupun di negara-negara maju. Dan munculnya pusat perbelanjaan modern di tengah kota-kota di Indonesia tersebut telah menggeser pusat-pusat perbelanjaan lokal atau yang telah populer disebut sebagai pasar-pasar tradisional. Bahkan banyak toko milik warga setempat yang semakin sepi karena kalah bersaing dengan supermarket dan swalayan.

Kemudian, sejak pertengahan dasawarsa 90-an muncul pusat-pusat perbelanjaan yang lebih megah atau yang populer disebut mall di berbagai sudut kota di banyak daerah. Munculnya mall-mall ini semakin memperluas keramaian kota-kota di Indonesia dan semakin mencitrakan kemajuan, dengan bukti sebagian pengunjungnya berkendaraan mobil. Di samping itu, sejumlah ruko juga bermunculan dan ikut menambah keramaian kota-kota di Indonesia.

Kesan Sensual

Jika dicermati, suasana keramaian di pusat-pusat perbelanjaan modern di Indonesia tersebut tidak berbeda dengan suasana keramaian di kota-kota besar di sejumlah negara lain, terutama negara-negara maju. Berbagai komoditi produk industri modern dijajakan dengan serba gemebyar yang ditunggui oleh pelayan-pelayan yang terdiri dari perempuan-perempuan muda dan cantik dengan memakai span pendek sehingga kaki-kaki indah mereka terlihat semua.

Melihat penampilan pelayan-pelayan yang ada di supermarket, swalayan dan mal-mal di Indonesia, kesan sensual begitu tampak. Kesan ini sama dengan kesan yang ada di kawasan pusat perbelanjaan modern di negara-negara maju. Akibatnya, citra Indonesia sebagai negara dengan penduduk beragama Islam yang seharusnya bercitra Islami menjadi kabur.

Dengan kata lain, kita sulit mendapatkan kesan Islami ketika berada di pusat-pusat perbelanjaan modern di Indonesia.

Sebaliknya, jika kita memasuki pasar-pasar tradisional yang ada di banyak kota di Indonesia, suasana Islami akan langsung terkesan karena mayoritas pedagang dan pelayan yang terdiri dari kaum perempuan sehari-hari memakai jilbab. Dalam hal ini, harus diakui, jilbab (khususnya bagi masyarakat Indonesia) identik dengan citra Islam.

Dengan demikian, ada satu kesimpulan yang dapat diambil: Bahwa citra Islami sebagai implikasi dari kehidupan bangsa dengan mayoritas beragama Islam masih terlihat bertahan di ranah tradisional, tapi semakin luntur di ranah modern, jika dikaitkan dengan perkembangan ekonomi (terutama di bidang marketing) di Indonesia.

Tindakan Tegas

Dari kesimpulan tersebut, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak selayaknya tinggal diam. Untuk mempertahankan citra Islami sebagai implikasi dari sebutan Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, perlu ada tindakan tegas. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang dianggap perlu dilakukan.

Pertama, masyarakat Islam Indonesia perlu mempopulerkan citra Islami, seperti berbusana sopan sesuai syariat Islam, terutama di pusat-pusat keramaian. Dengan demikian, perlu ada yang menganjurkan kepada pengusaha khususnya di bidang marketing untuk mendukung pekerjanya yang beragama Islam untuk tampil yang Islami pada saat mereka bekerja. Lebih konkretnya, jika mayoritas pelayan di mal-mal ternyata beragama Islam, tidak perlu diharuskan untuk memakai span mini yang kurang Islami.

Kedua, pusat-pusat keramaian layak lebih diwarnai dengan komoditi Islami karena konsumennya nota bene masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Misalnya, etalase-etalase lebih banyak menjajakan busana muslim daripada busana lain yang bercorak dekaden.

Ketiga, pusat-pusat keramaian layak lebih diwarnai acara-acara (termasuk pentas seni-budaya)  yang Islami. Misalnya, di mal-mal di seluruh Indonesia sesering mungkin digelar pentas peragaan busana muslim, pentas rebana dan bahkan pengajian dengan menampilkan mubalig atau ulama setempat.

Tempat Maksiat

Layak diungkapkan, betapa pergesekan nilai-nilai budaya akan selalu terjadi berkaitan dengan proses modernisasi. Jika tidak ada upaya serius membangun citra Islami di Indonesia, bisa jadi yang akan berkembang di Indonesia adalah citra lain yang dekaden. Kita tentu masih ingat, betapa dulu di banyak daerah Indonesia pernah diwarnai dengan adanya sejumlah tempat maksiat seperti lokalisasi PSK. Dan banyak pusat-pusat perbelanjaan modern yang juga dilengkapi dengan diskotik yang juga identik dengan tempat maksiat atau tidak sesuai dengan napas Islami mayoritas masyarakat Indonesia.

Dan, kita tahu, Lokalisasi PSK dan diskotik banyak dibuka di banyak daerah di Indonesia karena (pada saat itu) didukung kebijakan kepala daerah yang diamini oleh DPRD setempat. Dan jika kedua tempat maksiat tersebut kemudian ditutup, karena muncul protes dari banyak elemen masyarakat Indonesia (kaum muslimin) yang dilakukan dengan serius pada saat eforia reformasi.

Dengan demikian, keseriusan membangun citra Islami di Indonesia adalah keniscayaan, jika tidak ingin suasana kota-kota di Indonesia semakin tidak bercitra Islami. Dalam konteks sekarang, membangun citra Islami di Indonesia harus digalakkan dengan serius, agar munculnya berbagai embrio dekaden tidak bisa leluasa berkembang.

Meski demikian, jangan sampai terjadi benturan dalam bentuk kekerasan sekecil apa pun berkaitan dengan upaya membangun citra Islami di Indonesia, karena sejak dulu Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang pluralis.

Konkretnya, mempertahankan citra Islami di Indonesia jangan sampai menakutkan bagi warga non-muslim atau siapa pun, yang berarti harus selalu menjaga dan mengutamakan keamanan dan kedamaian. Dalam konteks ini, warga non muslim seharusnya juga menghormati nilai-nilai Islami yang menjadi pedoman mayoritas masyarakat Indonesia.***

*Direktur The Cibinong Center

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement