Senin 30 Dec 2013 10:20 WIB

Kegairahan Kembali ke Alquran

Rep: c20/ Red: Damanhuri Zuhri
Alquran
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar Pusat Studi Alquran (PSQ) Dr Muchlis Hanafi MA mengatakan, belakangan ini semakin banyak umat Islam Indonesia yang terdorong ikut membaca dan menghafal Alquran.

''Ini merupakan sebuah fenomena positif dan perlu kita apresiasi bersama. Dan ini adalah hal yang wajar dan memang seharusnya terjadi,'' jelas Muchlis Hanafi.

Doktor tafsir dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir ini menilai, kegairahan umat kembali kepada Alquran, merupakan baru gejala awal karena interaksi dengan Alquran belum cukup dengan membaca dan menghafal. ''Interaksi tersebut tidak boleh putus. Ada trilogi dalam interaksi dengan Alquran,'' jelasnya.

Pertama, kata Muchlis, membaca, mendengarkan, dan menghafal. Kedua, pemahaman dan penafsiran. Ketiga, mengamalkan dan mendakwahkan.

Saat mengamalkan dan mendakwahkan, kita menjadikan Alquran sebagai jalan hidup. Ketiganya tak terpisahkan. ''Saat Alquran menjadi pedoman hidup umat, baru kita rasakan betapa bermanfaatnya Alquran,'' jelasnya.

Semangat ini, kata dia, bagus seperti dilakukan para sahabat Rasulullah yang berkelompok membaca Alquran. Hadis Rasulullah menjelaskan, kelompok seperti itu akan dikelilingi malaikat, diberi rahmat, ketenangan, dan bersama orang beriman berada di sisi Allah SWT.

''Apalagi jika khatam bersama, itu baik. Para sahabat Rasulullah biasa mengumpulkan sanak keluarga saat ada yang khatam Alquran sebab orang yang khatam Alquran doanya diijabah,'' ungkapnya.

Menurut alumnus Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur ini, manajemen yang baik tentu diperlukan. Pemilihan metode yang sesuai untuk mengajar membaca dan menghafal harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Misalnya, dengan memanfaatkan gadget yang ada saat ini.

Substansi pembelajaran juga harus dijaga. Melalui pembelajaran yang baik akan terbentuk komunitas berkomitmen utuh terhadap Alquran.

Ia menambahkan, belajar Alquran perlahan-lahan. Para sahabat bahkan mempelajari Alquran tiap 10 ayat. ''Mereka tidak akan beranjak dari 10 ayat, sebelum mereka bisa membaca dengan baik, menghafalkan, dan mengamalkannya.''

Muchlis menilai, teknologi mempunyai dampak positif dan negatif. Tapi, banyak positifnya. Teknologi mempermudah umat membaca dan mendengarkan Alquran di mana saja.

Namun demikian ia mengingatkan, Alquran terjaga bukan karena teknologi, melainkan dari hati ke hati, dari mulut ke mulut.

''Karena itu tetap harus belajar, berguru pada guru yang bacaan Alqurannya bersanad pada Rasulullah. Kemampuan kita mungkin masih kurang sehingga bacaan Alqurannya tidak pas. Ini yang perlu dicocokkan dan diverifikasi oleh seorang guru,'' jelasnya.

Lantas, apa yang perlu disiapkan seseorang yang ingin mempelajari Alquran? Muchlis mengatakan, luruskan niat. Alquran, kata dia, cahaya yang bisa masuk pada hati yang bersih.

''Jaga juga keistiqamahan. Isitiqamah itu pekerjaan berat. Belajar Alquran bukan soal seberapa banyak, tetapi seberapa berdampak. Jangan cepat merasa puas dan cepat berhenti,'' ujarnya mengingatkan.

Menurut Muchlis, semua pihak punya tanggungjawab untuk memasyarakatkan Alquran. Ini bukan tanggung jawab lembaga pembelajaran Alquran, tapi kita semua.

''Kita mesti menyosialisasikan Alquran ke tengah masyarakat sehingga semua bisa membaca, menghafalkan, dan mengamalkannya. Cara sosialisasinya tentu dengan cara simpatik.

''Bangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya Alquran. Bangun juga pengetahuan dan kesiapan mereka untuk menerima Alquran,'' ujarnya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement