Kamis 26 Dec 2013 00:52 WIB

Peluang Dakwah Terbuka Lebar di Suriname

Arah Kiblat - ilustrasi
Arah Kiblat - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Perlu penyadaran dan sosialisasi tentang ajaran Islam yang sesungguhnya.

Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, mempunyai hubungan dekat dengan negara Suriname. Meski letaknya dipisahkan oleh samudera dan ribuan kilometer, budaya Jawa bisa ditemukan di Suriname.

Hubungan antara Jawa dan Suriname dimulai ketika Belanda, yang menjajah dua wilayah tersebut, mengirimkan orang-orang Jawa untuk dijadikan pekerja di Suriname. Lama tinggal di sana, membuat para imigran ini tetap mempertahankan budayanya, termasuk agama Islam.

Salah seorang putra Indonesia, Joni Anwar, berkesempatan mengunjungi negara ini beberapa waktu lalu. Tinggal di sana selama tiga minggu dalam rangka acara Indofair 2013 yang digelar Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia di Suriname.

Kesempatan itu memberinya banyak pengalaman yang patut dibaginya kepada Republika. “Suasana di sana seperti di Jawa. Saya rasa mirip dengan Kediri misalnya,” ungkap Joni Anwar pekan lalu.

Setiap satu tahun sekali Kedubes Suriname mengadakan Indofair dan mengundang beberapa orang Indonesia untuk datang. Acara tersebut banyak memamerkan barang dari Indonesia. “Barang-barang, seperti blangkon, panci, dan apa pun dari Indonesia laku keras di sana,” katanya.

Ia banyak menemukan orang Islam di Suriname. Penduduk Muslim dari Jawa ada sekitar 15 persen dari sekitar 550 ribu total penduduk. Penduduk Muslim lainnya kebanyakan para pendatang dari India. Melihat keseharian Muslim, ia tidak bisa mengatakan mereka tidak sepenuhnya terlihat Islam.

Lebih unik lagi, ia menyaksikan sebuah kondisi yang sangat jarang ditemukan di tempat lain. Menurut dia, ada dua jenis masjid di sana, yang berbeda arah kiblatnya.

Masyarakat Suriname yang berasal dari Jawa, kata Joni, masih mempertahankan untuk shalat menghadap kiblat yang dipercaya berada di sebelah barat.

Sedangkan, masjid yang lain menghadap kiblat dengan arah yang tepat, yaitu di arah timur. Secara geografis, letak suriname yang berada di Amerika Selatan, jelas berada di sebelah barat Makkah, dan yang benar adalah yang menghadap ke timur.

“Ada dua masjid yang berseberangan, hanya dipisahkan oleh jalan kecil, namun keduanya tetap mempertahankan kiblatnya yang berbeda itu,” katanya.

Masjid yang kiblatnya menghadap ke barat, menurut Joni, masih banyak memakai adat-adat Jawa, seperti budaya kejawen. Salah satu cirinya, yakni adanya sesajen dan kemenyan yang dibakar. Menurutnya, ini berbeda dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Berdirinya sebuah masjid di sana, menurutnya, hanya sebagai eksistensi para penduduk bahwa mereka itu Islam dan mempunyai masjid. Mereka juga menyebut masjid tersebut dengan nama miliknya, milik sang pemilik.

Misalkan, masjid tersebut dibangun oleh si A maka si A akan menyebut itu masjidnya, bukan nama masjid, seperti Al hikmah atau nama masjid seperti di Indonesia.

Azan yang pernah ia dengar berkumandang hanya di KBRI, sewaktu ia akan menunaikan shalat Jumat. Sedangkan dua kali shalat Jumat yang ia lakukan di masjid lokal, tak ada azan yang mengiringinya.

Ia pernah mempunyai pengalaman aneh. Ketika sudah tiba waktu shalat Zhuhur, ia masuk ke masjid dan menunaikan shalat. Meski tak ada seorang pun di dalam masjid yang shalat, ia terus menjalankan shalat sesuai niatnya.

Ketika ia shalat, banyak orang yang menontonnya dari luar masjid. Bukan mengikutinya untuk shalat, namun ia justru menjadi tontonan. Seseorang yang melakukan shalat di masjid saat siang hari dianggap aneh oleh orang di sana.

Namun, ketika Idul Adha tiba, jumlah binatang yang dikurbankan termasuk banyak. Di tingkat mushala kecil sekali pun, minimal ada 10 ekor sapi yang dikurbankan.

Salah kaprah dan kurangnya pemahaman akan Islam ini, menurutnya, tidak boleh dibiarkan. Harus ada para relawan dan pendakwah yang bisa menyejukkan jiwa Islam di Suriname.

Salah satu dakwah yang intens dilakukan, yakni oleh orang yang dikenalnya sebagai Ustaz Ali Arifin. Ustaz Ali adalah orang Indonesia yang beruntung mendapatkan beasiswa menimba ilmu di Libya.

Setelah lulus, ia ditawarkan untuk memilih berdakwah di manapun oleh Pemerintah Libya. Pilihannya jatuh pada Suriname. Anak dan istrinya pun dibawa ke negeri yang menjadi penghasil bauksit ini.

Ia beruntung bisa bertemu dengan Ali. Mereka pun banyak mengobrol dan berbagi cerita tentang pengalaman Ali selama berdakwah di sana. Banyak tantangan yang dihadapi saat berdakwah di Suriname.

Pertama, menyatukan kiblat. Kedua, mengubah pemikiran para perempuan Muslimah. Hingga kini, pendakwah seperti Ali ini masih sangat kurang. Peluang dakwah terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin membagi ilmunya di Suriname.

“Masyarakat di sana Barat minded. Meski sang perempuan tersebut Islam, jarang sekali ditemukan yang memakai pakaian sesuai syariat Islam. Udara di sana mirip dengan Indonesia, namun memang lebih panas,” kata Joni.

Meski masyarakat Suriname sangat heterogen, terdiri atas berbagai ras dari seluruh dunia dengan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, namun jarang sekali terjadi konflik antar-SARA. Gesekan atau konflik jarang terjadi di sini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement