REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Ahmad Dzaki MA
Shafar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriyah setelah Muharram. Shafar diartikan sebagai kosong (shifr) atau kuning (ashfar).
Disebut kosong (shifr) karena masyarakat Arab pada zaman dahulu meninggalkan rumah-rumah mereka untuk berperang sehingga menjadi kosong.
Pada bulan Shafar, ada sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap merupakan bulan sial, bulan mala petaka dan bulan bala bencara.
Mereka menganggap pamali (tidak boleh) melakukan beberapa kegiatan seperti resepsi pernikahan karena khawatir perkawinannya tidak akan langgeng dan ke depannya tidak akan mendapatkan keturunan, begitu juga sunatan.
Mereka menganggap akan ada bencana dan musibah yang menimpa. Karena itu, mereka juga tidak melakukan perjalanan jauh karena khawatir mendapatkan kecelakaan.
Anggapan sebagian masyarakat ini diperkuat dengan beberapa ritual yang dilaksanakan seperti Mandi Shafar pada hari Rabu pekan terakhir bulan Shafar.
Mereka Mandi Shafar di pantai-pantai, sumur-sumur tua dan di tempat-tempat karamat lainnya dengan maksud membuang sial.
Kegiatan seperti ini di masyarakat Jawa disebut dengan Rabu Wekasan atau di masyarakat Aceh disebut Rabu Habeh atau di masyarakat Cirebon disebut dengan Ngirab.
Karena banyak masyarakat yang beranggapan Shafar adalah bulan sial, dampaknya secara ekonomis juga dirasakan masyarakat lainnya.
Seperti pengusaha perencana pernikahan, pengusaha jasa rias pengantin, pengusaha catering, pengusaha tenda dan banyak lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sudah jarang masyarakat yang beranggapan Shafar adalah bulan sial. Lambat laun kepercayaan ini memudar karena pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam semakin baik.
Meski demikian, masih ada yang mempertahankan keyakinan ini karena mengganggap hal ini dilakukan secara turun temurun sejak nenek dan kakek moyang mereka masih hidup.
Sebagai umat Islam, tentu kita harus kembali kepada Alquran dan Al-Hadits yang menjadi pedoman hidup kita. Tidak ada satupun ayat Alquran atau hadits Rasulullah SAW yang menyatakan Shafar adalah bulan sial, bulan bencana dan bulan mala petaka.
Lihatlah Alquran surat At-Taubah ayat 51 yang artinya, “Katakanlah….tidak akan menimpa kamu sesuatu apapun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah SWT kepada kamu, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakkal.”
Segala musibah yang menimpa seseorang, bukan karena dilakukan pada bulan Shafar atau bulan lainnya, melainkan hal itu telah menjadi ketetapkan Allah SWT. Tidak boleh menyalahkan apapaun dan siapapun ketika terjadi musibah atau bencana kepada.
Kita pasrahkan semua itu kepada Allah SWT. Sebaik-baik tindakan yang kita lakukan ketika mendapat musibah adalah mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Rasulullah SAW sendiri menamakan Shafar itu dengan sebutan Shafar Al-Khair atau bulan Shafar yang baik. Tindakan dan ucapan inilah yang seharusnya kita lakukan.
Jangan sampai iman kita terkotori karena pemahaman kita yang salah , atau ternodai karena melakukan ritual-ritual yang khurafat di bulan Shafar ini. Wallahu a'lam bish-shawab.
*Kepala SMA Pesantren Terpadu Hayatan Thayyibah Kota Sukabumi, Jawa Barat.