Senin 16 Dec 2013 04:08 WIB

Alasan di Balik Perintah Hidup Berpasangan

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Endah Hapsari
Pernikahan yang dilakukan secara Islam.
Foto: onislam.net
Pernikahan yang dilakukan secara Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Manusia hidup dengan aturan dari Tuhan, tidak bisa seenaknya. Dalam hal apa pun manusia harus mengikuti peraturan Allah SWT, termasuk berpasangan. Memang benar, hak untuk menentukan pasangan itu ada. Tidak ada paksaan. "Tetapi tetap tidak bisa seenaknya," jelas Ketua Takmir Majid Agung al-Azhar Jakarta, Dr Shabahussurur.

Dalam khitbah, misalnya, laki-laki diberi hak melihat perempuan calon pasangannya. Tidak boleh ayah si perempuan langsung menetapkan calon pasangan adalah si laki-laki. Perempuan juga begitu. Dalam sebuah riwayat, seorang perempuan akan dinikahkan oleh seorang laki-laki. Si perempuan kemudian mengadu kepada Rasulullah karena tidak suka dengan calon suaminya, lalu diputuskan tidak jadi. Si perempuan kemudian menikah dengan laki-laki lain.

Pernikahan, jelasnya, harus disepakati kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki dan perempuan. Itu dibuktikan juga ketika misalnya terjadi pernikahan, tetapi salah satu pihak tidak sependapat, maka harus berpisah, dan laki punya hak, seperti juga perempuan. Artinya, ada hak yang sama.

Terkait pasangan, Shabah menyatakan pasti berbeda jenis. "Tumbuhan dan binatang saja bereproduksi dengan berbeda jenis," paparnya. Tidak ada cerita pasangan sesama jenis. Semua itu, menurutnya diatur Allah untuk dijadikan pelajaran.

Pasangan yang berbeda jenis saja, paparnya, diatur lagi sehingga tidak boleh sembarangan. Pasangan tidak boleh yang bersaudara kandung, tidak boleh orang tua, dan lainnya.  Memang, papar Shabah, setiap orang memiliki hak menentukan pasangannya. Namun, menurut Islam, baiknya ada ketentuan yang berlaku. HAM dalam Islam tidak semata-mata diukur oleh logika, tetapi dalil syar'i. Hak yang diperbolehkan diukur oleh teks agama. "Itu jadi perbedaan mencolok antara HAM dalam Islam dan Barat," imbuhnya.

Wakil Rektor Universitas Ibnu Khaldun Dr Nirwan Syafrin menyatakan, berpasang-pasangan  adalah tabiat manusia. Tumbuhan saja, jelasnya, tidak mungkin menikah sesama jenis. Jika ada yang menikah sejenis, itu melawan hukum alam. “Itu tabiat alam,” paparnya.  

Berbeda dengan Islam yang percaya bahwa hak setiap orang diatur oleh Tuhan. Seseorang tidak bisa seenaknya karena selain hak individu, ada juga hak masyarakat dan negara. Jika nikah sejenis terjadi, maka apakah masyarakat sekitar dan negara membolehkan? "Harus diingat, hak masyarakat itu lebih didahulukan daripada hak individu," jelas Nirwan.

Direktur Lembaga Pengkajian dan Penerapan Tauhid Universitas Djuanda, Bogor, Dr Amir Mahrudin mengatakan, pernikahan sesama jenis memang sudah dilakukan Barat. Namun, Indonesia sebagai bangsa Timur tidak bisa membenarkan hal itu. "Kita punya etika. Rasio bukan segalanya," ketus Amir. 

Lebih jauh dia menjelaskan, dalam Alquran Allah selalu menegaskan diri-Nya menciptakan segala hal berpasang-pasangan. Antara satu dan lainnya saling mengisi dan menyempurnakan. Listrik menyala antara negatif dan positif. Ada langit dan bumi, air dan api. Ada gelap dan terang, hujan dan kemarau, dan lainnya. 

Demikian pula dengan manusia. Allah menciptakan mereka berpasang-pasangan, yaitu lelaki dan perempuan. Mereka kemudian menikah dan hidup bersama agar tenteram. Mereka hidup dalam kasih sayang. Keduanya menenteramkan lahir dan batin. ”Bagaimana ketenteraman terwujud bila kriteria itu tak terpenuhi?” kata dia. 

Amir pun mengajak agar masyarakat Indonesia mempertahankan budaya dan undang-undang pernikahan tersebut. Sehingga, HAM tidak dipahami sebagai bebas mutlak dan berseberangan dengan norma serta aturan agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement