REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dedi Nugraha
Dalam medan apa pun, selalu dibutuhkan hadirnya orang-orang yang sabar. Membangun gedung, merawat tanaman, mendidik anak, mengembangkan usaha, membina masyarakat, hingga mengelola negara, berlangsung baik jika dilakukan orang yang punya kesabaran.
Pada semua jenis amal kebajikan dan kerja kesalehan, kesabaran menemukan keniscayaannya. Karena, amal adalah suatu proses. Dan, proses itu memerlukan waktu. Sedangkan, waktu menjadi salah satu batu ujian dalam menentukan tingkat kesabaran dalam beramal.
Sabar adalah seni dalam beramal. Ia menjadi hiburan spiritual yang membuat ahlul-'amal justru bisa merasakan kenikmatan di tengah-tengah lelahnya bekerja dan beramal. Ia menjadi serum yang membuat para pencinta amal kebal dari penyakit putus asa dan cepat bosan.
Ia menjadi pil antibiotik yang bisa membentengi seorang yang beramal dari rasa kesia-siaan ketika tujuan belum tercapai. Sabar melipatgandakan kekuatan.
Dengan kesabaran, 20 orang mukmin akan mampu mengalahkan 200 orang kafir. Seratus orang mukmin yang sabar akan mampu mengalahkan 1.000 orang kafir.
Allah SWT menegaskan rumusan ini dalam firman-Nya, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada 100 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 1.000 orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS al-Anfal: 65).
Selemah-lemahnya orang yang sabar, dia tetaplah masih lebih baik dua kali lipat dibanding musuh hingga mampu mengalahkan mereka.
Inilah ruh yang harus dimiliki orang-orang mukmin, yaitu ruh kesebaran. Baik dalam beramal, berjuang, juga dalam menghadapi berbagai ujian.
Baik ujian menyakitkan, maupun mengenakkan. Keburukan dan kebaikan, dua-duanya ujian dan harus dimenangkan dengan kesabaran.
Ambillah pelajaran dari sejarah Bani Israil yang tidak pernah bisa bersabar ketika dihadapkan pada keterbatasan hidup dan penderitaan.
Mereka merasa bosan, mengeluh, dan berputus asa. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: 'Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja...',” (QS al-Baqarah: 61).
Sebaliknya, ketika dihadapkan pada fasilitas dan kenikmatan hidup, mereka tamak dan lupa diri. Akhirnya, mereka menjadi lemah semangat dan tak punya nyali untuk menghadapi musuh.
Semoga Allah memberi kita kesabaran dalam beramal, berjuang, dan dalam menghadapi berbagai ujian. “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS al-A'raaf: 126). Wallahu a'lam bish-shawab.